Assalamu'alaikum.

Assalamu'alaikum
Selamat datang di blog ini. Terimaksih atas kunjungannya sahabat

Semoga dapat bermanfaat untuk membuat kita lebih baik lagi, amin....
(bagi yang ingin copy and share artikel yang ada dblog ini, silahkan saja, asal cantumkan sumbernya... :)

Saturday 31 July 2010

Puasa Tetapi Tidak Sholat

Puasa Tetapi Tidak Shalat

Ulama besar Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin -rahimahullah- pernah ditanya : Apa hukum orang yang berpuasa namun meninggalkan shalat?

Jawab: Puasa yang dilakukan oleh orang yang meninggalkan shalat tidaklah diterima karena orang yang meninggalkan shalat telah melakukan bentuk kekafiran dan kemurtadan. Dalil bahwa meninggalkan shalat termasuk bentuk kekafiran adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), ”Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (QS. At Taubah [9] : 11). Alasan lain adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Pembatas antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 82)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani)

Pendapat yang mengatakan bahwa meninggalkan shalat merupakan suatu kekafiran adalah pendapat mayoritas sahabat Nabi bahkan dapat dikatakan pendapat tersebut adalah ijma’ (kesepakatan) para sahabat. ‘Abdullah bin Syaqiq –rahimahullah- (seorang tabi’in yang sudah masyhur) mengatakan, “Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amalan yang apabila seseorang meninggalkannya akan menyebabkan dia kafir selain perkara shalat.” (Sanad riwayat ini shahih. Lihat Ats Tsamar Al Mustathob, hal. 52, -pen]

Oleh karena itu, apabila seseorang berpuasa namun dia meninggalkan shalat, puasa yang dia lakukan tidaklah sah (tidak diterima). Amalan puasanya pun tidaklah bermanfaat pada hari kiamat nanti.

Oleh sebab itu, kami katakan, “Shalatlah kemudian tunaikanlah puasa”. Adapun jika engkau puasa namun tidak shalat, amalan puasamu akan tertolak karena orang kafir (karena sebab meninggalkan shalat) tidak diterima ibadah dari dirinya. [Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 17/62]

Sumber: Abu Fauzan
Grup: Imam Bukhari (FB)

Surat Dari Sayidina Ali radhiallahu’anhu kepada Hasan (putranya.)

*** ~ KEPADA PUTERAKU ~ ***

Sesungguhnya aku berpesan kepadamu untuk bertaqwa kepada Allah, wahai anakku ! Dan aku berpesan kepadamu agar disiplin menegakkan perintah Nya, memakmurkan hatimu dengan ingat kepada Nya dan berpegang teguh terhadap agama Nya serta agar kamu selalu melakukan hal-hal yang menyebabkan baiknya hubunganmu dengan Allah Subhanallahu wa Ta’ala.

Hidupkanlah hatimu dengan nasihat, hiasilah ia dengan zuhud, kuatkanlah hatimu dengan keyakinan dan sinarilah dia dengan
hikmah. Tundukkanlah hatimu dengan mengingat kematian dan kukuhkanlah dengan kematian. Berikanlah pelajaran kepadanya dengan bencana-bencana dunia dan ingatkanlah dengan terkaman masa dan buruknya pergantian siang dan malam.

Jelaskanlah kepadanya berita-berita masa lalu dan ingatkanlah tentang apa yang telah menimpa orang-orang dahulu sebelum kamu. Belajarlah di negeri mereka dan peninggalan-peninggalannya, kemudian engkau
perhatikan, apa yang mereka lakukan? Dari mana mereka berpindah? Dan ke mana mereka akan bertempat tinggal untuk masa seterusnya?

Maka, sesungguhnya akan engkau mendapatkan bahwa mereka itu telah pindah dari kecintaan menempati negeri pengasingan, dan seakan
engkau sebentar lagi menjadi salah satu di antara mereka.

Maka dari itu, perbaikilah tempat kembalimu dan jangan kamu jual akhiratmu dengan duniamu. Tinggalkanlah satu ucapan terhadap sesuatu yang tidak kamu ketahui, dan tinggalkanlah pula menyuruh sesuatu yang kamu sendiri tidak mampu melaksanakannya.

Sadarkanlah dirimu dalam semua urusan kepada Rabb mu, sebab sesungguhnya kamu menyadarkan semua urusanmu itu kepada goa yang kokoh dan benteng yang kuat.Tuluslah dalam memohon kepada Rabb mu, karena di tangan Nya lah pemberian dan penolakan dan perbanyaklah istikharah.

Pahamilah pesanku dan jangan sampai engkau hilangkan meskipun hanya satu lembar. Sebab, sebaik-baik ucapan adalah ucapan yang
bermanfaat dan ketahuilah bahwasannya tidak ada kebaikan dalam ilmu kecuali ilmu yang bermanfaat dan ilmu itu tidak manfaat jika tidak benar cara mempelajarinya.

===========================================
*** Surat untuk Hasan ketika pulang dari perang Shiffin.

*** IZZAH - "Ibadah." - No : 37 Tahun VI 24 Jumadis Tsani 1416, 17 Nopember 1995.

Sumber: Fiqih Wanita Muslim (FB)

Hadist "Perbedaan dikalangan umat adalah rahmat".

Assalamualaikum ,

Ustadz saya sering mendengar kalangan umat islam berkata yang menurutnya dari hadith yaitu” perbedaan di kalangan umat adalah rahmat ” hati nurani saya selalu tidak nyaman dengan kalimat ini karena dalam Al quran kita di perintah untuk menjaga ukhuwah yang ingin saya tanyakan kedudukan hadith tersebut dan di nukil dari mana, sekian jazakumullah.

Irfan Dewanto


Jawaban ustadz Sigit Pranowo, Lc.

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Irfan Dewanto yang dimuliakan Allah swt

Al Albani mengatakan didalam “Silsilah al Ahadits adh Dhaifah” (1/141) bahwa hadits “Perbedaan umatku adalah rahmat” tersebut tidaklah memiliki dasar. Para ahli hadits telah berupaya didalam meneliti tentang sanadnya namun mereka semua tidak mendapatkannya kecuali perkataan Suyuthi didalam “al Jami’ ash Shoghir”,”Barangkali ia diriwayatkan didalam beberapa kitab para Hufazh yang belum sampai kepada kita.” Dan ini jauh menurutku (Al Albani) jika ada dari beberapa hadits Nabi saw yang hilang dan ini tidak pantas diyakini oleh seorang muslim.

Al Manawiy menukil dari as Subkiy, dia mengatakan bahwa hadits tersebut tidak dikenal dikalangan para ulama hadits dan aku tidak menemukan bahwa hadits itu memiliki sanad yang shahih, lemah atau maudhu’. Hal itu ditegaskan oleh Syeikh Zakaria al Anshariy didalam catatannya tentang “Tafsir al Baidhowi” (2/92). (as Silsilah adh Dhaifah juz I hal 134)

Syeikh Athiyah Saqar mengatakan bahwa hadits “Perbedaan umatku adalah rahmat” disebutkan oleh Baihaqi ddalam “Risalah” nya dan mensanadkannya dari hadits Ibnu Abbas didalam “al Madkhol” dengan lafazh “Perbedaan para sahabatku adalah rahmat bagi kalian.” Dengan sanadnya yang lemah sebagaimana disebutkan al Iraqi didalam ‘takhrijnya terhadap hadits-hadits yang ada didalam kitab “Ihya Ulumuddin” (juz I hal 25)

Sebab dari perkataan itu—sebagaimana disebutkan beberapa kitab—bahwa seorang Arab Badui telah bersumpah tidak menghampiri istrinya pada satu waktu dari masa (al hiin minad dahr) namun orang Arab badui itu tidaklah menentukan lamanya satu waktu dari masa yang disumpahkan itu.
Orang itu pun mendatangi Rasulullah saw untuk menanyakannya namun dia tidak mendapati Rasulullah saw lalu dia menanyakannya kepada Abu Bakar ra maka Abu Bakar pun mengatakan,”Pergilah dan ceraikan isterimu, karena makna dari satu waktu dari masa berarti sepanjang umurmu seluruhnya.” Lalu orang Arab Badui itu pun bertanya kepada Umar maka Umar pun berkata,”Jika kamu hidup hingga empat puluh tahun maka dimungkinkan bagimu untuk kembali kepada isterimu karena makna al hiin adalah empat puluh tahun.”

Lalu orang itu bertanya kepada Utsman maka Utsman pun menjawab,”Tunggulah setahun lalu kembali lah kepada isterimu, karena al hiin adalah satu tahun saja.” Lalu orang itu bertanya kepada Ali ra maka Ali bertanya kembali kepadanya,”Kapan kamu bersumpah?” orang itu menjawab,”Kemarin.” Utsman pun menjawab,”Kembalilah kepada isterimu karena makna al hiin adalah setengah hari.”

Lalu orang Arab Badui itu mengisahkannya kepada Rasulullah saw maka Rasulullah saw pun bertanya kepada para sahabat yang empat itu tentang dasar pendapat mereka.
Abu Bakar pun mengatakan bahwa dirinya mendasarkannya kepada firman Allah swt terhadap kaum Yunus :

فَلَوْلاَ كَانَتْ قَرْيَةٌ آمَنَتْ فَنَفَعَهَا إِيمَانُهَا إِلاَّ قَوْمَ يُونُسَ لَمَّآ آمَنُواْ كَشَفْنَا عَنْهُمْ عَذَابَ الخِزْيِ فِي الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَمَتَّعْنَاهُمْ إِلَى حِينٍ
Artinya : “Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? tatkala mereka (kaum Yunus itu), beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu.” (QS. Yunus : 98)

Rasulullah saw pernah menafsirkan hal itu bahwa Allah swt telah membiarkan mereka tanpa diadzab sepanjang usia mereka.

Sementara Umar menyandarkan pendapatnya kepada firman Allah swt :

هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنسَانِ حِينٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْئًا مَّذْكُورًا
Artinya : “Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang Dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS. Al Insan : 1)

Rasulullah saw pernah menafsirkan hal itu bahwa telah datang atas Adam selama empat puluh tahun sebagai makhluk yang telah dibentuk yang tidak mengetahui siapa dirinya, siapa namanya dan apa yang diinginkan darinya.

Sementara Utsman menyadarkan pendapatnya kepada firman Allah swt :
Artinya : “Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya.” (QS. Ibrahim : 25) dan pohon korma memberikan buahnya setiap tahun.

Sedangkan Ali menyandarkan pendapatnya kepada firman Allah swt :

Artinya : “Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari dan waktu kamu berada di waktu subuh,” (QS. Ar Ruum : 17) dan hiin (waktu itu) adalah setengah hari.
Ada juga yang mengatakan bahwa sesungghunya kisah ini adalah terhadap sabda Rasulullah saw,”Para sahabatku seperti bintang-bintang, siapa saja dari mereka yang kalian ikuti maka kalian akan mendapatkan petunjuk.” Ini juga hadits lemah bahkan ada yang mengatakan maudhu’ (palsu), diriwayatkan oleh ad Darimiy.

Hadits-hadits lainnya yang semisal itu memiliki sanad-sanad yang lemah, apa pun derajat hadits ini maka hal itu bukanlah suatu pujian dari Nabi saw terhadap segala bentuk perbedaaan akan tetapi terhadap perbedaan didalam pendapat ijtihadi yang didalamnya tidak terdapat nash yang qoth’i dan setiap dari mereka menyandarkan pendapatnya kepada nash Al Qur’an maka hal itu dimaafkan jika terjadi kesalahan.

Sebagaimana diketahui bahwa perbedaan didalam berbagai pendapat ijtihadiyah akan memberikan kesempatan kepada manusia untuk memilih yang sesuai dengan keadaannya maka dari sinilah muncul berbagai madzhab fiqhi yang kita kenal dan bersikap taqlid kepada madzhab mana pun maka diperbolehkan dan tidak ada kesempitan didalamnya. (Fatawa Al Azhar juz VIII hal 209)

Dengan demikian meskipun hadits tersebut tidak memiliki dasar atau tidak berasal dari Rasulullah saw namun secara makna tidaklah salah jika kita tempatkan pada berbagai permasalahan fiqih.

Wallahu A’lam

sumber :eramuslim.com

foto :blog.imanbrotoseno.com

sumber: http://answering.wordpress.com/2009/12/07/hadist-perbedaan-di-kalangan-umat-adalah-rahmat/

Friday 30 July 2010

Jumlah Rakaat Sholat Tarawih

Rasulullah saw menganjurkan kepada kita untuk menghidupkan malam Ramadhan dengan memperbanyak sholat. Abu Hurairah r.a. menceritakan bahwa Nabi saw. Sangat mengajurkan qiyam ramadhan dengan tidak mewajibkannya. Kemudian Nabi saw. Bersabda, “Siapa yang mendirikan shalat di malam Ramadhan dengan penuh keimanan dan harapan, maka ia diampuni dosa-dosanya yang telah lampau.” (muttafaq alaih)

Dan fakta sejarah memberi bukti, sejak zaman Rasulullah saw. hingga kini, umat Islam secara turun temurun mengamalkan anjuran Rasulullah ini. Alhamdulillah. Tapi sayang, dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan di beberapa hal yang kadang mengganggu ikatan ukhuwah di kalangan umat. Seharusnya itu tak boleh terjadi jika umat tahu sejarah disyariatkannya shalat tarawih.

Pada awalnya shalat tarawih dilaksanakan Nabi saw. dengan sebagian sahabat secara berjamaah di Masjid Nabawi. Namun setelah berjalan tiga malam, Nabi membiarkan para sahabat melakukan tarawih secara sendiri-sendiri. Hingga dikemudian hari, ketika menjadi Khalifah, Umar bin Khattab menyaksikan adanya fenomena shalat tarawih terpencar-pencar di dalam Masjid Nabawi. Terbersit di benak Umar untuk menyatukannya.Umar memerintahkan Ubay bin Kaab untuk memimpin para sahabat melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah. ‘Aisyah menceritakan kisah ini seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Untuk selengkapnya silahkan lihat Al-Lu’lu War Marjan: 436. berdasarkan riwayat itulah kemudian para ulama sepakat menetapkan bahwa shalat tarawih secara berjamaah adalah sunnah.

Bahkan, para wanita pun dibolehkan ikut berjamaah di masjid, padahal biasanya mereka dianjurkan untuk melaksanakan shalat wajib di rumah masing-masing. Tentu saja ada syarat: harus memperhatikan etika ketika di luar rumah. Yang pasti, jika tidak ke masjid ia tidak berkesempatan atau tidak melaksanakan shalat tarawih berjamaah, maka kepergiannya ke masjid tentu akan memperoleh kebaikan yang banyak.

Jumlah Rakaat

Berapa rakaat shalat tarawih para sahabat yang diimami oleh Ubay bin Kaab? Hadits tentang kisah itu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tidak menjelaskan hal ini. Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah. Hanya menyebut Rasulullah saw. shalat tarawih berjamaah bersama para sahabat selama tiga malam. Berapa rakaatnya, tidak dijelaskan. Hanya ditegaskan bahwa tidak ada perbedaan jumlah rakaat shalat malam yang dilakukan Rasulullah di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Jadi, hadits ini konteksnya lebih kepada shalat malam secara umum. Maka tak heran jika para ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk shalat malam secara umum. Misalnya, Iman Bukhari memasukkan hadits ini ke dalam Bab Shalat Tahajjud. Iman Malik di Bab Shalat Witir Nabi saw. (Lihat Fathul Bari 4/250 dan Muwattha’ 141).

Inilah yang kemudian memunculkan perbedaan jumlah rakaat. Ada yang menyebut 11, 13, 21, 23, 36, bahkan 39. Ada yang berpegang pada hadits ‘Aisyah dalam Fathul Bari, “Nabi tidak pernah melakuka shalat malam lebih dari 11 rakaat baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan.”

Sebagian berpegang pada riwayat bahwa Umar bin Khattab –seperti yang tertera di Muwattha’ Imam Malik—menyuruh Ubay bin Kaab dan Tamim Ad-Dari untuk melaksanakan shalat tarawih 11 rakaat dengan rakaat-rakaat yang panjang. Namun dalam riwayat Yazid bin Ar-Rumman dikabarkan jumlah rakaat shalat tarawih yang dilaksanakan di zaman Umar adalah 23 rakaat.

Dalam kitab Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, Imam At-Tirmidzi menyatakan bahwa Umar, Ali, dan sahabat lainnya melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat selain witir. Pendapat ini didukung Imam At-Tsauri, Imam Ibnu Mubarak, dan Imam Asy-Syafi’i.

Di Fathul Bari ditulis bahwa di masa Umar bin Abdul Aziz, kaum muslimin shalat tarawih hingga 36 rakaat ditambah witir 3 rakaat. Imam Malik berkata bahwa hal itu telah lama dilaksanakan.

Masih di Fathul Bari, Imam Syafi’i dalam riwayat Az-Za’farani mengatakan bahwa ia sempat menyaksikan umat Islam melaksanakan shalat tarawih di Madinah dengan 39 rakaat dan di Makkah 33 rakaat. Menurut Imam Syafi’i, jumlah rakaat shalat tarawih memang memiliki kelonggaran.

Dari keterangan di atas, jelas akar persoalan shalat tarawih bukan pada jumlah rakaat. Tapi, pada kualitas rakaat yang akan dikerjakan. Ibnu Hajar berkata, “Perbedaan yang terjadi dalam jumlah rakaat tarawih mucul dikarenakan panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan. Jika dalam mendirikannya dengan rakaat-rakaat yang panjang, maka berakibat pada sedikitnya jumlah rakaat; dan demikian sebaliknya.”

Imam Syafi’i berkata, “Jika shalatnya panjang dan jumlah rakaatnya sedikit itu baik menurutku. Dan jika shalatnya pendek, jumlah rakaatnya banyak itu juga baik menurutku, sekalipun aku lebih senang pada yang pertama.” Selanjutnya beliau mengatakan bahwa orang yang menjalankan tarawih 8 rakaat dengan 3 witir dia telah mencontoh Rasulullah, sedangkan yang menjalankan tarawih 23 rakaat mereka telah mencontoh Umar, generasi sahabat dan tabi’in. Bahkan, menurut Imam Malik, hal itu telah berjala lebih dari ratusan tahun.

Menurut Imam Ahmad, tidak ada pembatasan yang signifikan dalam jumlah rakaat tarawih, melainkan tergantung panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan. Imam Az-Zarqani mengkutip pendapat Ibnu Hibban bahwa tarawih pada mulanya 11 rakaat dengan rakaat yang sangat panjang, kemudian bergeser menjadi 20 rakaat tanpa witir setelah melihat adanya fenomena keberatan umat dalam melaksanakannya. Bahkan kemudian dengan alasan yang sama bergeser menjadi 36 rakaat tanpa witir (lihat Hasyiyah Fiqh Sunnah: 1/195)

Jadi, tidak ada alasan sebenarnya bagi kita untuk memperselisihkan jumlah rakaat. Semua sudah selesai sejak zaman sahabat. Apalagi perpecahan adalah tercela dan persatuan umat wajib dibina. Isu besar dalam pelaksanaan shalat tarawih adalah kualitas shalatnya. Apakah benar-benar kita bisa memanfaatkan shalat tarawih menjadi media yang menghubungkan kita dengan Allah hingga ke derajat ihsan?

Cara Melaksanakan Tarawih

Hadits Bukhari yang diriwayatkan Aisyah menjelaskan cara Rasulullah saw. melaksanakan shalat malam adalah dengan tiga salam. Jadi, dimulai dengan 4 rakaat yang sangat panjang lalu ditambah 4 rakaat yang panjang lagi kemudian disusul 3 rakaat sebagai witir (penutup).

Boleh juga dilakukan dengan dua rakaat dua rakaat dan ditutup satu rakaat. Ini berdasarkan cerita Ibnu Umar bahwa ada sahabat bertanya kepada Rasulullah saw. tentang cara Rasulullah saw. mendirikan shalat malam. Rasulullah saw. menjawab, “Shalat malam didirikan dua rakaat dua rakaat, jika ia khawatir akan tibanya waktu subuh maka hendaknya menutup dengan satu rakaat (muttafaq alaih, lihat Al-Lu’lu War Marjan: 432). Rasulullah saw. sendiri juga melakukan cara ini (lihat Syarh Shahih Muslim 6/46-47 dan Muwattha’: 143-144).

Dari data-data di atas, Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa Rasulullah saw. kadang melakukan witir dengan satu rakaat dan kadang tiga rakaat.

Jadi, sangat tidak pantas jika perbedaan jumlah rakaat shalat tarawih menjadi isu yang pemecah persatuan umat. []

Oleh: Mochammad Bugi
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2007/berapa-jumlah-rakaat-shalat-tarawih/

Cinta Sejati Dalam Islam

Makna ‘Cinta Sejati’ terus dicari dan digali. Manusia dari zaman ke zaman seakan tidak pernah bosan membicarakannya. Sebenarnya? apa itu ‘Cinta Sejati’ dan bagaimana pandangan Islam terhadapnya?

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Masyarakat di belahan bumi manapun saat ini sedang diusik oleh mitos ‘Cinta Sejati‘, dan dibuai oleh impian ‘Cinta Suci’. Karenanya, rame-rame, mereka mempersiapkan diri untuk merayakan hari cinta “Valentine’s Day”.

Pada kesempatan ini, saya tidak ingin mengajak saudara menelusuri sejarah dan kronologi adanya peringatan ini. Dan tidak juga ingin membicarakan hukum mengikuti perayaan hari ini. Karena saya yakin, anda telah banyak mendengar dan membaca tentang itu semua. Hanya saja, saya ingin mengajak saudara untuk sedikit menyelami: apa itu cinta? Adakah cinta sejati dan cinta suci? Dan cinta model apa yang selama ini menghiasi hati anda?

Seorang peneliti dari Researchers at National Autonomous University of Mexico mengungkapkan hasil risetnya yang begitu mengejutkan. Menurutnya: Sebuah hubungan cinta pasti akan menemui titik jenuh, bukan hanya karena faktor bosan semata, tapi karena kandungan zat kimia di otak yang mengaktifkan rasa cinta itu telah habis. Rasa tergila-gila dan cinta pada seseorang tidak akan bertahan lebih dari 4 tahun. Jika telah berumur 4 tahun, cinta sirna, dan yang tersisa hanya dorongan seks, bukan cinta yang murni lagi.

Menurutnya, rasa tergila-gila muncul pada awal jatuh cinta disebabkan oleh aktivasi dan pengeluaran komponen kimia spesifik di otak, berupa hormon dopamin, endorfin, feromon, oxytocin, neuropinephrine yang membuat seseorang merasa bahagia, berbunga-bunga dan berseri-seri. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, dan terpaan badai tanggung jawab dan dinamika kehidupan efek hormon-hormon itu berkurang lalu menghilang. (sumber: www.detik.com Rabu, 09/12/2009 17:45 WIB).

Wah, gimana tuh nasib cinta yang selama ini anda dambakan dari pasangan anda? Dan bagaimana nasib cinta anda kepada pasangan anda? Jangan-jangan sudah lenyap dan terkubur jauh-jauh hari.

Anda ingin sengsara karena tidak lagi merasakan indahnya cinta pasangan anda dan tidak lagi menikmati lembutnya buaian cinta kepadanya? Ataukah anda ingin tetap merasakan betapa indahnya cinta pasangan anda dan juga betapa bahagianya mencintai pasangan anda?

Saudaraku, bila anda mencintai pasangan anda karena kecantikan atau ketampanannya, maka saat ini saya yakin anggapan bahwa ia adalah orang tercantik dan tertampan, telah luntur.

Bila dahulu rasa cinta anda kepadanya tumbuh karena ia adalah orang yang kaya, maka saya yakin saat ini, kekayaannya tidak lagi spektakuler di mata anda.

Bila rasa cinta anda bersemi karena ia adalah orang yang berkedudukan tinggi dan terpandang di masyarakat, maka saat ini kedudukan itu tidak lagi berkilau secerah yang dahulu menyilaukan pandangan anda.

Saudaraku! bila anda terlanjur terbelenggu cinta kepada seseorang, padahal ia bukan suami atau istri anda, ada baiknya bila anda menguji kadar cinta anda. Kenalilah sejauh mana kesucian dan ketulusan cinta anda kepadanya. Coba anda duduk sejenak, membayangkan kekasih anda dalam keadaan ompong peyot, pakaiannya compang-camping sedang duduk di rumah gubuk yang reot. Akankah rasa cinta anda masih menggemuruh sedahsyat yang anda rasakan saat ini?

Para ulama’ sejarah mengisahkan, pada suatu hari Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu bepergian ke Syam untuk berniaga. Di tengah jalan, ia melihat seorang wanita berbadan semampai, cantik nan rupawan bernama Laila bintu Al Judi. Tanpa diduga dan dikira, panah asmara Laila melesat dan menghujam hati Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu. Maka sejak hari itu, Abdurrahman radhiallahu ‘anhu mabok kepayang karenanya, tak kuasa menahan badai asmara kepada Laila bintu Al Judi. Sehingga Abdurrahman radhiallahu ‘anhu sering kali merangkaikan bair-bait syair, untuk mengungkapkan jeritan hatinya. Berikut di antara bait-bait syair yang pernah ia rangkai:

Aku senantiasa teringat Laila yang berada di seberang negeri Samawah
Duhai, apa urusan Laila bintu Al Judi dengan diriku?
Hatiku senantiasa diselimuti oleh bayang-bayang sang wanita
Paras wajahnya slalu membayangi mataku dan menghuni batinku.
Duhai, kapankah aku dapat berjumpa dengannya,
Semoga bersama kafilah haji, ia datang dan akupun bertemu.

Karena begitu sering ia menyebut nama Laila, sampai-sampai Khalifah Umar bin Al Khattab radhiallahu ‘anhu merasa iba kepadanya. Sehingga tatkala beliau mengutus pasukan perang untuk menundukkan negeri Syam, ia berpesan kepada panglima perangnya: bila Laila bintu Al Judi termasuk salah satu tawanan perangmu (sehingga menjadi budak), maka berikanlah kepada Abdurrahman radhiallahu ‘anhu. Dan subhanallah, taqdir Allah setelah kaum muslimin berhasil menguasai negeri Syam, didapatkan Laila termasuk salah satu tawanan perang. Maka impian Abdurrahmanpun segera terwujud. Mematuhi pesan Khalifah Umar radhiallahu ‘anhu, maka Laila yang telah menjadi tawanan perangpun segera diberikan kepada Abdurrahman radhiallahu ‘anhu.

Anda bisa bayangkan, betapa girangnya Abdurrahman, pucuk cinta ulam tiba, impiannya benar-benar kesampaian. Begitu cintanya Abdurrahman radhiallahu ‘anhu kepada Laila, sampai-sampai ia melupakan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak mendapatkan perlakuan yang sewajarnya, maka istri-istrinya yang lainpun mengadukan perilaku Abdurrahman kepada ‘Aisyah istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan saudari kandungnya.

Menyikapi teguran saudarinya, Abdurrahman berkata: “Tidakkah engkau saksikan betapa indah giginya, yang bagaikan biji delima?”

Akan tetapi tidak begitu lama Laila mengobati asmara Abdurrahman, ia ditimpa penyakit yang menyebabkan bibirnya “memble” (jatuh, sehingga giginya selalu nampak). Sejak itulah, cinta Abdurrahman luntur dan bahkan sirna. Bila dahulu ia sampai melupakan istri-istrinya yang lain, maka sekarang iapun bersikap ekstrim. Abdurrahman tidak lagi sudi memandang Laila dan selalu bersikap kasar kepadanya. Tak kuasa menerima perlakuan ini, Lailapun mengadukan sikap suaminya ini kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Mendapat pengaduan Laila ini, maka ‘Aisyahpun segera menegur saudaranya dengan berkata:

يا عبد الرحمن لقد أحببت ليلى وأفرطت، وأبغضتها فأفرطت، فإما أن تنصفها، وإما أن تجهزها إلى أهلها، فجهزها إلى أهلها.

“Wahai Abdurrahman, dahulu engkau mencintai Laila dan berlebihan dalam mencintainya. Sekarang engkau membencinya dan berlebihan dalam membencinya. Sekarang, hendaknya engkau pilih: Engkau berlaku adil kepadanya atau engkau mengembalikannya kepada keluarganya. Karena didesak oleh saudarinya demikian, maka akhirnya Abdurrahmanpun memulangkan Laila kepada keluarganya. (Tarikh Damaskus oleh Ibnu ‘Asakir 35/34 & Tahzibul Kamal oleh Al Mizzi 16/559)

Bagaimana saudaraku! Anda ingin merasakan betapa pahitnya nasib yang dialami oleh Laila bintu Al Judi? Ataukah anda mengimpikan nasib serupa dengan yang dialami oleh Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu?(1)

Tidak heran bila nenek moyang anda telah mewanti-wanti anda agar senantiasa waspada dari kenyataan ini. Mereka mengungkapkan fakta ini dalam ungkapan yang cukup unik: Rumput tetangga terlihat lebih hijau dibanding rumput sendiri.

Anda penasaran ingin tahu, mengapa kenyataan ini bisa terjadi?

Temukan rahasianya pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ. رواه الترمذي وغيره

“Wanita itu adalah aurat (harus ditutupi), bila ia ia keluar dari rumahnya, maka setan akan mengesankannya begitu cantik (di mata lelaki yang bukan mahramnya).” (Riwayat At Tirmizy dan lainnya)

Orang-orang Arab mengungkapkan fenomena ini dengan berkata:

كُلُّ مَمْنُوعٍ مَرْغُوبٌ

Setiap yang terlarang itu menarik (memikat).

Dahulu, tatkala hubungan antara anda dengannya terlarang dalam agama, maka setan berusaha sekuat tenaga untuk mengaburkan pandangan dan akal sehat anda, sehingga anda hanyut oleh badai asmara. Karena anda hanyut dalam badai asmara haram, maka mata anda menjadi buta dan telinga anda menjadi tuli, sehingga andapun bersemboyan: Cinta itu buta. Dalam pepatah arab dinyatakan:

حُبُّكَ الشَّيْءَ يُعْمِي وَيُصِمُّ

Cintamu kepada sesuatu, menjadikanmu buta dan tuli.

Akan tetapi setelah hubungan antara anda berdua telah halal, maka spontan setan menyibak tabirnya, dan berbalik arah. Setan tidak lagi membentangkan tabir di mata anda, setan malah berusaha membendung badai asmara yang telah menggelora dalam jiwa anda. Saat itulah, anda mulai menemukan jati diri pasangan anda seperti apa adanya. Saat itu anda mulai menyadari bahwa hubungan dengan pasangan anda tidak hanya sebatas urusan paras wajah, kedudukan sosial, harta benda. Anda mulai menyadari bahwa hubungan suami-istri ternyata lebih luas dari sekedar paras wajah atau kedudukan dan harta kekayaan. Terlebih lagi, setan telah berbalik arah, dan berusaha sekuat tenaga untuk memisahkan antara anda berdua dengan perceraian:

فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ. البقرة 102

“Maka mereka mempelajari dari Harut dan Marut (nama dua setan) itu apa yang dengannya mereka dapat menceraikan (memisahkan) antara seorang (suami) dari istrinya.” (Qs. Al Baqarah: 102)

Mungkin anda bertanya, lalu bagaimana saya harus bersikap?

Bersikaplah sewajarnya dan senantiasa gunakan nalar sehat dan hati nurani anda. Dengan demikian, tabir asmara tidak menjadikan pandangan anda kabur dan anda tidak mudah hanyut oleh bualan dusta dan janji-janji palsu.

Mungkin anda kembali bertanya: Bila demikian adanya, siapakah yang sebenarnya layak untuk mendapatkan cinta suci saya? Kepada siapakah saya harus menambatkan tali cinta saya?

Simaklah jawabannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ. متفق عليه

“Biasanya, seorang wanita itu dinikahi karena empat alasan: karena harta kekayaannya, kedudukannya, kecantikannya dan karena agamanya. Hendaknya engkau menikahi wanita yang taat beragama, niscaya engkau akan bahagia dan beruntung.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dan pada hadits lain beliau bersabda:

إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ. رواه الترمذي وغيره.

“Bila ada seorang yang agama dan akhlaqnya telah engkau sukai, datang kepadamu melamar, maka terimalah lamarannya. Bila tidak, niscaya akan terjadi kekacauan dan kerusakan besar di muka bumi.” (Riwayat At Tirmizy dan lainnya)

Cinta yang tumbuh karena iman, amal sholeh, dan akhlaq yang mulia, akan senantiasa bersemi. Tidak akan lekang karena sinar matahari, dan tidak pula luntur karena hujan, dan tidak akan putus walaupun ajal telah menjemput.

الأَخِلاَّء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلاَّ الْمُتَّقِينَ. الزخرف 67

“Orang-orang yang (semasa di dunia) saling mencintai pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. Az Zukhruf: 67)

Saudaraku! Cintailah kekasihmu karena iman, amal sholeh serta akhlaqnya, agar cintamu abadi. Tidakkah anda mendambakan cinta yang senantiasa menghiasi dirimu walaupun anda telah masuk ke dalam alam kubur dan kelak dibangkitkan di hari kiamat? Tidakkah anda mengharapkan agar kekasihmu senantiasa setia dan mencintaimu walaupun engkau telah tua renta dan bahkan telah menghuni liang lahat?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ. متفق عليه

“Tiga hal, bila ketiganya ada pada diri seseorang, niscaya ia merasakan betapa manisnya iman: Bila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dibanding selain dari keduanya, ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan dirinya, bagaikan kebenciannya bila hendak diceburkan ke dalam kobaran api.” (Muttafaqun ‘alaih)

Saudaraku! hanya cinta yang bersemi karena iman dan akhlaq yang mulialah yang suci dan sejati. Cinta ini akan abadi, tak lekang diterpa angin atau sinar matahari, dan tidak pula luntur karena guyuran air hujan.

Yahya bin Mu’az berkata: “Cinta karena Allah tidak akan bertambah hanya karena orang yang engkau cintai berbuat baik kepadamu, dan tidak akan berkurang karena ia berlaku kasar kepadamu.” Yang demikian itu karena cinta anda tumbuh bersemi karena adanya iman, amal sholeh dan akhlaq mulia, sehingga bila iman orang yang anda cintai tidak bertambah, maka cinta andapun tidak akan bertambah. Dan sebaliknya, bila iman orang yang anda cintai berkurang, maka cinta andapun turut berkurang. Anda cinta kepadanya bukan karena materi, pangkat kedudukan atau wajah yang rupawan, akan tetapi karena ia beriman dan berakhlaq mulia. Inilah cinta suci yang abadi saudaraku.

Saudaraku! setelah anda membaca tulisan sederhana ini, perkenankan saya bertanya: Benarkah cinta anda suci? Benarkah cinta anda adalah cinta sejati? Buktikan saudaraku…

Wallahu a’alam bisshowab, mohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan atau menyinggung perasaan.

***

Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Dipublikasi ulang dari www.pengusahamuslim.com

Footnote:

1) Saudaraku, setelah membaca kisah cinta sahabat Abdurrahman bin Abi Bakar ini, saya harap anda tidak berkomentar atau berkata-kata buruk tentang sahabat Abdurrahman bin Abi Bakar. Karena dia adalah salah seorang sahabat nabi, sehingga memiliki kehormatan yang harus anda jaga. Adapun kesalahan dan kekhilafan yang terjadi, maka itu adalah hal yang biasa, karena dia juga manusia biasa, bisa salah dan bisa khilaf. Amal kebajikan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu banyak sehingga akan menutupi kekhilafannya. Jangan sampai anda merasa bahwa diri anda lebih baik dari seseorang apalagi sampai menyebabkan anda mencemoohnya karena kekhilafan yang ia lakukan. Disebutkan pada salah satu atsar (ucapan seorang ulama’ terdahulu):

مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ مَنْ عَابَهُ بِهِ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ

“Barang siapa mencela saudaranya karena suatu dosa yang ia lakukan, tidaklah ia mati hingga terjerumus ke dalam dosa yang sama.”

Sumber: Catatan Armin Djufri Nida (FB)
http://www.facebook.com/notes/armin-djufri-nida/cinta-sejati-dalam-islam/416726802244

Thursday 29 July 2010

Tentang Salam Kita

"Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan,

maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu." (QS An-Nisaa: 86)

Saya kerap kali membaca SMS yang salam pembukanya ditulis “Ass”.

Dan sering juga saya mendapatkan salam penutup “Wass". Entahlah apakah saya saja yang merasa nelangsa dan merasa diacuhkan dengan salam seperti itu. Seakan ditinggal pergi buru-buru oleh si pemberi salam. Benarkah dia memberi salam ataukah empat huruf itu hanyalah suara yang mirip salam? Tidakkah terpikir untuk menambah empat huruf lagi hingga salam penutup itu mempunyai makna?

Hal ini memang sederhana dan terkadang disepeleken oleh sebagian orang. Tapi, tahukah anda? Bahwasannya karena hal-hal yang sederhana seperti inilah Rasulullah SAW bisa melunakkan hati yang keras para musyrikin Quraisy. Mulai dari cara menyisir rambut, menyediakan tempat sampah di depan rumah, memberi salam pada anak-anak, makan menggunakan tangan kanan, sampai perintah untuk menanam pohon.

●●●

Pernah sahabat Rasulullah, Umar bin Khatab mengadukan Ali bin Abi Thalib kepada Rasulullah. "Ya, Rasulullah, Ali bin Abi Thalib tidak pernah memulai mengucapkan salam kepadaku..." Rasulullah lalu menanyakan hal itu kepada Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib membenarkan pengaduan Umar bin Khatab itu. "Ya, Rasulullah, itu kulakukan karena aku ingin supaya Umar bisa mendapatkan istana di Surga! Seperti yang disabdakan olehmu, ya Rasulullah. Bahwa siapa yang mendahului saudaranya mengucapkan salam, Allah akan mendirikan istana baginya di Surga."

Bayangkan dengan memberi salam kita bisa membangun istana di Surga. Dengan salam,

hati-hati kita terikat untuk saling mencintai. Kenapa kita tidak bersegera menebar salam

kepada sahabat, handai taulan, keluarga dan saudara-saudara kita seiman?



Sabda Rasulullah, "Tidaklah kalian masuk surga hingga kalian beriman. Dan tidaklah kalian beriman hingga saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang jika kalian kerjakan niscaya kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian." (HR Muslim)

●●●

Saya sangat yakin, sebenarnya kita telah mengetahui hal ini dengan sangat jelas, karenanya semoga saja Allah memberikan kita Inayah untuk tetap beramal dengan benar.

Saya yakin ucapan salam yang diketik dengan lengkap tidak akan membuat pulsa kita dengan sendirinya menjadi habis, atau ucapan salam tidak akan membuat suara kita parau. Bahkan sebaliknya ucapan salam akan memberikan kebaikan tersendiri untuk diri kita, karena hakikatnya salam adalah doa, doa yang diucapkan untuk saudaranya seakidah, "Semoga Allah memberi keselamatan padamu."


Sumber: http://www.facebook.com/notes/renungan-n-kisah-inspiratif/tentang-salam-kita/446876536041

Khutbah Rasululloh SAW Menyambut Ramadhan

Oleh: Mochamad Bugi

dakwatuna.com – “Wahai manusia, sungguh telah datang pada kalian bulan Allah dengan membawa berkah rahmat dan maghfirah. Bulan yang paling mulia di sisi Allah. Hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah jam-jam yg paling utama.

Inilah bulan ketika kamu diundang menjadi tetamu Allah dan dimuliakan oleh-Nya. Di bulan ini nafas-nafasmu menjadi tasbih, tidurmu ibadah, amal-amalmu diterima dan doa-doamu diijabah. Bermohonlah kepada Allah Rabbmu dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah membimbingmu untuk melakukan shiyam dan membaca Kitab-Nya.

Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu, kelaparan dan kehausan di hari kiamat. Bersedekahlah kepada kaum fuqara dan masakin. Muliakanlah orang tuamu, sayangilah yang muda, sambungkanlah tali persaudaraanmu, jaga lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal kamu memandangnya dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarnya. Kasihilah anak-anak yatim, niscaya dikasihi manusia anak-anak yatimmu.

Bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah tangan-tanganmu untuk berdoa pada waktu shalatmu karena itulah saat-saat yang paling utama ketika Allah Azza wa Jalla memandang hamba-hamba-Nya dengan penuh kasih; Dia menjawab mereka ketika mereka menyeru-Nya, menyambut mereka ketika mereka memanggil-Nya dan mengabulkan doa mereka ketika mereka berdoa kepada-Nya.

Wahai manusia! Sesungguhnya diri-dirimu tergadai karena amal-amalmu, maka bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggungmu berat karena beban (dosa)-mu, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujudmu.

Ketahuilah, Allah Ta’ala bersumpah dengan segala kebesaran-Nya bahwa Dia tidak akan mengadzab orang-orang yang shalat dan sujud, dan tidak akan mengancam mereka dengan neraka pada hari manusia berdiri di hadapan Rabbal-alamin.

Wahai manusia, barangsiapa di antaramu memberi buka kepada orang-orang mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka di sisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan dia diberi ampunan atas dosa-dosa yang lalu.

(Seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, tidaklah kami semua mampu berbuat demikian.” Rasulullah meneruskan khotbahnya, “Jagalah dirimu dari api neraka walau pun hanya dengan sebiji kurma. Jagalah dirimu dari api neraka walau pun hanya dengan seteguk air.”)

Wahai manusia, siapa yang membaguskan akhlaknya di bulan ini, ia akan berhasil melewati Sirathal Mustaqim pada hari ketika kaki-kaki tergelincir. Siapa yang meringankan pekerjaan orang-orang yang dimiliki tangan kanannya (pegawai atau pembantu) di bulan ini, Allah akan meringankan pemeriksaan-Nya di hari kiamat. Barangsiapa menahan kejelekannya di bulan ini, Allah akan menahan murka-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.

Barangsiapa memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakanya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa menyambungkan tali persaudaraan (silaturahmi) di bulan ini, Allah akan menghubungkan dia dengan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah akan memutuskan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.

Barangsiapa melakukan shalat sunat di bulan ini, Allah akan menuliskan baginya kebebasan dari api neraka. Barangsiapa melakukan shalat fardu baginya ganjaran seperti melakukan 70 shalat fardu di bulan lain.

Barangsiapa memperbanyak shalawat kepadaku di bulan ini, Allah akan memberatkan timbangannya pada hari ketika timbangan meringan. Barangsiapa di bulan ini membaca satu ayat Al-Quran, ganjarannya sama seperti mengkhatam Al-Quran pada bulan-bulan yang lain.

Sumber: http://www.facebook.com/notes/tri-wahyuningsih/khutbah-rasululloh-saw-menyambut-ramadhan/115902485125450

Bicara Dengan Hati, Allah Tetap Mengetahui

Pada suatu hari Rasulullah mendapat berita yang mengagetkan tentang salah seorang sahabatnya. "Ia sedang mengalami sakaratul maut. Sudah kami talkin agar menyebut nama Allah, tetapi lidahnya bagai terkunci," demikian tutur si pembawa kabar.

Rasulullah bergegas menuju ke rumah sahabatnya itu. Sebab, ia seorang mukmin yang beriman, pejuang yang ikhlas, dan dermawan yang tekun beribadah. Ia harus diselamatkan.

"Sahabatku, katakanlah la ilaha illallah," ujar Nabi. Tetapi, orang itu hanya membisu saja.
Katakanlah illallah," desak Nabi. Masih juga orang itu memandang kosong.
"Katakanlah Allah," Nabi berbisik kembali. Orang itu tetap bengong. Lalu, menghembuskan napas penghabisan.

Para sahabat menjerit kecil. Mereka sangat sedih menyaksikan rekan setia itu mengakhiri hidup di dunianya tanpa mampu melafalkan kalimat tauhid. Namun, anehnya Nabi malah tersenyum ceria dan wajahnya bersinar cerah. Tentu saja para sahabat keheranan. Di antara mereka, ada yang tidak tahan untuk segera melontarkan pertanyaan.

"Wahai kekasih Allah, alangkah menyakitkan sikapmu. Kami semua cemas memikirkan nasib malang yang menimpa rekan kami itu di akhirat kelak, mengapa engkau justru kelihatan gembira?"

Nabi, masih bersinar-sinar menjawab. "Tidakkah kalian lihat menjelang ajalnya, ia menatap ke atas sekilas? Ia menghadap Allah dengan isyarat mata. Ia tidak mampu bertobat dengan lidahnya. Tetapi, ia memohon ampun dengan hatinya. Aku senang sekali, karena Allah berfirman kepadaku bahwa kedatangannya diterima dalam rida-Nya."

Sumber: Mutiara Hikmah dalam 1001 Kisah

Sumber: Jam'iyah Ismul Haq (FB)

Istimewanya Angka (7) Tujuh

Berkata Asy-Syaikh Al-Imamul-ajallu Abu Nashr Muhammad bin Abdurrahman Alhamdaani – (ketahuilah) bahwa Dzat Pencipta yang sangat besar kekuasaan-Nya dan sangat tinggi kalimat-Nya telah menghiasi tujuh perkara dengan tujuh perkara, dan menghiasi pula bagi tiap-tiap yang tujuh perkara itu dengan tujuh perkara lainnya, untuk memberitahukan kepada orang-orang yang berilmu bahwasanya angka tujuh itu mempunyai rahasia yang sangat besar dan kedudukan yang agung di sisi Allah.

Pertama.. Allah menghiasi udara dengan tujuh lapis langit
Firman-Nya
“dan Kami bina di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh”
(QS. An-Nabaa’ : 12)
kemudian Allah menghiasinya dengan tujuh bintang
Firman-Nya
“dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandang (Nya)”
(QS. Al-Hijr : 16)

Kedua.. Allah telah menghiasi padang yang lapang dengan tujuh lapis bumi
Firman-Nya
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi”
(QS. At Thalaaq : 12)
Kemudian Allah menghiasi bumi itu dengan tujuh lautan
Firman-Nya
“…dan laut, ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudahnya...”
(QS. Luqman : 27)

Ketiga.. Allah menghiasi Neraka dengan tujuh tingkat yaitu
1. Jahannam
“dan Sesungguhnya Jahannam itu benar-benar tempat yang telah diancamkan kepada mereka (pengikut-pengikut syaitan) semuanya.”
(QS. Al-Hijr : 43)
2. Sa’iir
“dan Dia akan masuk ke dalam sa’iir (api neraka yang menyala-nyala)”
(QS. Al-Insyiqaaa : 12)
3. Saqar
"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?"
(QS. Al-Muddatstsir : 42)
4. Jahim
“dan diperlihatkan dengan jelas neraka Jahim kepada orang- orang yang sesat",
(QS. Ass-Syu’araa’ : 91)
5. Huthamah
“dan tahukah kamu apa Huthamah itu?”
(QS. Al-Humazah : 5)
6. Ladhaa
“ sekali-kali tidak dapat, Sesungguhnya neraka (ladhaa) itu adalah api yang bergejolak
(QS. Al-Ma’aarij : 15)
7. Haawiyah
“Maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah”.
(QS. Al-Qaari’ah : 9)

Keempat.. Allah menghias Al-quran dengan tujuh surah yang panjang, kemudian menghiasinya pula dengan tujuh ayat pembuka kitab (faatihatul-kitaab). Sebagaimana firman-Nya
“dan Sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Quran yang agung.”
(QS. Al-Hijr : 87)
Yang dimaksud tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang ialah surat Al-Faatihah yang terdiri dari tujuh ayat. sebagian ahli tafsir mengatakan tujuh surat-surat yang panjang Yaitu Al-Baqarah, Ali Imran, Al-Maaidah, An-Nissa', Al 'Araaf, Al An'aam dan Al-Anfaal atau At-Taubah.

Kelima.. Allah menghias manusia dengan tujuh anggota badan yaitu: dua tangan, dua kaki,dua lutut dan satu wajah. Kemudian menghiasinya dengan tujuh peribadatan yaitu: dua tangan dengan do’a, dua kaki dengan berkhidmat, dua lutut dengan duduk, dan satu wajah dengan bersujud. Sebagaimana Firman-Nya
“…dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).”
(QS. Al-Alaq : 19)

Sumber: ICM bin Jabal Kendari

Amalan Khusus Menyambut Bulan Ramadhan

“Bulan Ramadhan adalah bulan yang paling utama dalam setahun. Karena pada bulan tersebut Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan amalan puasa sebagai suatu kewajiban dan menjadikannya sebagai salah satu rukun Islam yaitu rukun Islam yang keempat. Umat islam pada bulan tersebut disyariatkan untuk menghidupkannya dengan berbagai amalan.

Mengenai wajibnya puasa Ramadhan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ ، وَحَجِّ البَيْتِ

”Islam dibangun di atas lima perkara: persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan haji ke Baitullah.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 8 dalam Al Iman, Bab “Islam dibangun atas lima perkara”, dan Muslim no. 16 dalam Al Imam, Bab “Rukun-rukun Islam”)
Nabi ‘alaihimush shalaatu was salaam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ



“Barangsiapa melakukan puasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap ganjaran dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 2014 dalam Shalat Tarawih, Bab “Keutamaan Lailatul Qadr”, dan Muslim no. 760 dalam Shalat Musafir dan Qasharnya, Bab “Motivasi Qiyam Ramadhan”)

Aku tidak mengetahui ada amalan tertentu untuk menyambut bulan Ramadhan selain seorang muslim menyambutnya dengan bergembira, senang dan penuh suka cita serta bersyukur kepada Allah karena sudah berjumpa kembali dengan bulan Ramadhan. Semoga Allah memberi taufik dan menjadikan kita termasuk orang yang menghidupkan Ramadhan dengan berlomba-lomba dalam melakukan amalan shalih.

Berjumpa lagi dengan bulan Ramadhan sungguh merupakan nikmat besar dari Allah. OIeh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memberikan kabar gembira kepada para sahabat karena datangnya bulan ini. Beliau menjelaskan keutamaan-keutamaan bulan Ramadhan dan janji-janji indah berupa pahala yang melimpah bagi orang yang berpuasa dan menghidupkannya.

Disyariatkan bagi seorang muslim untuk menyambut bulan Ramadhan yang mulia dengan melakukan taubat nashuhah (taubat yang sesungguhnya), mempersiapkan diri dalam puasa dan menghidupkan bulan tersebut dengan niat yang tulus dan tekad yang murni.”

[Pertanyaan di Majalah Ad Da’wah, 1284, 5/11/1411 H. Sumber : Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15/9-10]

***
Demikian penjelasan dari Syaikh Ibnu Baz -rahimahullah-. Dari penjelasan singkat di atas dapat kita ambil pelajaran bahwa tidak ada amalan-amalan khusus untuk menyambut bulan Ramadhan selain bergembira dalam menyambutnya, melakukan taubat nashuhah, dan melakukan persiapan untuk berpuasa serta bertekad menghidupkan bulan tersebut.

Oleh karena itu, tidaklah tepat ada yang meyakini bahwa menjelang bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”). Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian. Namun masalahnya adalah jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa menjelang Ramadhan adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.

Juga tidaklah tepat amalan sebagian orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar terlebih dahulu. Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih parahnya lagi mandi semacam ini (yang dikenal dengan “padusan”) ada juga yang melakukannya campur baur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat pemandian. Ini sungguh merupakan kesalahan yang besar karena tidak mengindahkan aturan Islam. Bagaimana mungkin Ramadhan disambut dengan perbuatan yang bisa mendatangkan murka Allah?!

Begitu pula dengan maaf memaafkan menjelang ramadhan, ini pun suatu amalan yang tidak tepat. Karena maaf memaafkan boleh kapan saja. Lantas mengapa dikhususkan menjelang Ramadhan? Apa dasarnya?

Semoga dengan bertambahnya ilmu, kita semakin baik dalam beramal. Semoga Allah selalu memberikan kita ilmu yang bermanfaat, memberikan kita rizki yang thoyib dan memberi kita petunjuk untuk beramal sesuai tuntunan.

Sumber: Indahnya Sunnah (FB)

Mentaati Pemerintah

Oleh al-Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray hafizhahullah


Para ulama kaum muslimin seluruhnya sepakat akan kewajiban taat kepada pemerintah muslim dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Allah Tabaraka wa Ta’ala telah memerintahkan hal tersebut sebagaimana dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (An-Nisa’: 59)

Demikian pula, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah berwasiat:

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا

“Aku wasiatkan kalian agar senantiasa taqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin (negara) meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah.” (HR. Abu Dawud, no. 4609 dan At-Tirmidzi, no. 2677)

Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah menjelaskan diantara prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:

ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أُمورنا ، وإن جاروا ، ولا ندعوا عليهم ، ولا ننزع يداً من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضةً ، ما لم يأمروا بمعصيةٍ ، وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة

“Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka berbuat zhalim. Kami tidak mendoakan kejelekan kepada mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Dan kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” (Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi Al-Hanafi rahimahullah)

AI-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menukil ijma’. Dari Ibnu Batthal rahimahullah, ia berkata: “Para fuqaha telah sepakat wajibnya taat kepada pemerintah (muslim) yang berkuasa, berjihad bersamanya, dan bahwa ketaatan kepadanya lebih baik daripada nnemberontak.” (Fathul Bari, 13/7)

selebihnya=> http://artikelassunnah.blogspot.com/2010/07/masih-layakkah-pemerintahan-indonesia.html

Sumber: Ilmu Dan Renungan (FB)

Lupakan Jasa dan Kebaikan Diri

Semakin kita sering menganggap diri penuh jasa dan penuh kebaikan pada orang lain, apalagi menginginkan orang lain tahu akan jasa dan kebaikan diri kita, lalu berharap agar orang lain menghargai, memuji, dan membalasnya maka semua ini berarti kita sedang membangun penjara untuk diri sendiri dan sedang mempersiapkan diri mengarungi samudera kekecewaan dan sakit hati.

Ketahuilah bahwa semakin banyak kita berharap sesuatu dari selain Allah SWT, maka semakin banyak kita akan mengalami kekecewaan. Karena, tiada sesuatu apapun yang dapat terjadi tanpa ijin Allah. Sesudah mati-matian berharap dihargai makhluk dan Allah tidak menggerakkan orang untuk menghargai, maka hati ini akan terluka dan terkecewakan karena kita terlalu banyak berharap kepada makhluk. Belum lagi kerugian di akhirat karena amal yang dilakukan berarti tidak tulus dan tidak ikhlas, yaitu beramal bukan karena Allah.

Selayaknya kita menyadari bahwa yang namanya jasa atau kebaikan kita terhadap orang lain, sesungguhnya bukanlah kita berjasa melainkan Allah-lah yang berbuat, dan kita dipilih menjadi jalan kebaikan Allah itu berwujud. Sesungguhnya terpilih menjadi jalan saja sudah lebih dari cukup karena andaikata Allah menghendaki kebaikan itu terwujud melalui orang lain maka kita tidak akan mendapat ganjarannya.

Jadi, ketika ada seseorang yang sakit, lalu sembuh berkat usaha seorang dokter. Maka, seberulnya bukan dokter yang menyembuhkan pasien tersebut, melainkan Allah-lah yang menyembuhkan, dan sang dokter dipilih menjadi jalan. Seharusnya dokter sangat berterima kasih kepada sang pasien karena selain telah menjadi ladang pahala untuk mengamalkan ilmunya, juga telah menjadi jalan rizki dari Allah baginya. Namun, andaikata sang dokter menjadi merasa hebat karena jasanya, serta sangat menuntut penghormatan dan balas jasa yang berlebihan maka selain memperlihatkan kebodohan dan kekurangan imannya juga semakin tampak rendah mutu kepribadiannya (seperti yang kita maklumi orang yang tulus dan rendah hati selalu bernilai tinggi dan penuh pesona). Selain itu, di akhirat nanti niscaya akan termasuk orang yang merugi karena tidak beroleh pahala ganjaran.

Juga, tidak selayaknya seorang ibu menceritakan jasanya mulai dari mengandung, melahirkan, mendidik, membiayai, dan lain-lain semata-mata untuk membuat sang anak merasa berhutang budi. Apalagi jika dilakukan secara emosional dan proporsional kepada anak-anaknya, karena hal tersebut tidak menolong mengangkat wibawa sang ibu bahkan bisa jadi yang terjadi adalah sebaliknya. Karena sesungguhnya sang anak sama sekali tidak memesan untuk dilahirkan oleh ibu, juga semua yang ibunya lakukan itu adalah sudah menjadi kewajiban seorang ibu.

Percayalah bahwa kemuliaan dan kehormatan serta kewibawaan aeorang ibu/bapak justru akan bersinar-sinar seiring dengan ketulusan ibu menjalani tugas ini dengan baik, Insya Allah. Allah-lah yang akan menghujamkan rasa cinta di hati anak-anak dan menuntunnya untuk sanggup berbalas budi.

Seorang guru juga harus bisa menahan diri dari ujub dan merasa berjasa kepada murid-muridnya. Karena memang kewajiban guru untuk mengajar dengan baik dan tulus. Dan memang itulah rizki bagi seseorang yang ditakdirkan menjadi guru. Karena setiap kebaikan yang dilakukan muridnya berkah dari tuntunan sang guru akan menjadi ganjaran tiada terputus dan dapat menjadi bekal penting untuk akhirat. Kita boleh bercerita tentang suka duka dan keutamaan mengajar dengan niat bersyukur bukan ujub dan takabur.

Perlu lebih hati-hati menjaga lintasan hati dan lebih menahan diri andaikata ada salah seorang murid kita yang sukses, jadi orang besar. Biasanya akan sangat gatal untuk mengumumkan kepada siapapun tentang jasanya sebagai gurunya plus kadang dengan bumbu penyedap cerita yang kalau tidak pada tempatnya akan menggelincirkan diri dalam riya dan dosa.

Andaikata ada sebuah mobil yang mogok lalu kita membantu mendorongnya sehingga mesinnya hidup dan bisa jalan dengan baik. Namun ternyata sang supir sama sekali tidak berterima kasih. Jangankan membalas jasa, bahkan menengok ke arah kita pun tidak sama sekali.. andaikata kita merasa kecewa dan dirugikan lalu dilanjutkan dengan acara menggerutu, menyumpahi, lalu menyesali diri plus memaki sang supir. Maka lengkaplah kerugiannya lahir maupun batin. Dan tentu saja amal pun jadi tidak berpahala dalam pandangan Allah karena tidak ikhlas, yaitu hanya berharap balasan dari makhluk.

Seharusnya yang kita yakini sebagai rizki dan keberuntungan kita adalah takdir diri ini diijinkan Allah bisa mendorong mobil. Silahkan bayangkan andaikata ada mobil yang mogok dan kita tidak mengetahuinya atau kita sedang sakit tidak berdaya, niscaya kita tidak mendapat kesempatan beramal dengan mendorong mobil. Atau diri ini sedang sehat perkasa tapi mobil tidak ada yang mogok, lalu kita akan mendorong apa?

Takdir mendorong mobil adalah investasi besar, yakni kalau dilaksanakan penuh dengan ketulusan niscaya Allah yang Maha Melihat akan membalasnya dengan balasan yang mengesankan. Bukankah kita tidak tahu kapan kita akan mendapatkan kesulitan di perjalanan, maka takdir beramal adalah investasi.

Mari kita bersungguh-sungguh untuk terus berbuat amal kebajikan sebanyak mungkin dan sesegera mungkin. Setelah itu mari kita lupakan seakan kita tidak pernah melakukannya, cukuplah Allah yang Maha Melihat saja yang mengetahuinya. Allah SWT pasti menyaksikannya dengan sempurna dan membalasnya dengan balasan yang sangat tepat baik waktu, bentuk, ataupun momentumnya. Salah satu ciri orang yang ikhlas menurut Imam Ali adalah senang menyembunyikan amalannya bagai menyembunyikan aib-aibnya.

Selamat berbahagia bagi siapapun yang paling gemar beramal dan paling cepat melupakan jasa dan kebaikan dirinya, percayalah hidup ini akan jauh lebih nikmat, lebih ringan, dan lebih indah. Insya Allah.***

Sumber: Jam'iyah Ismul Haq

Ungkapan Terima kasih....?

Bismillahirrahmanirrahim....

Hati manusia pada dasarnya menyukai ucapan terima kasih dan pujian baik, sebagaimana
ia menyukai orang yang memberikan kebaikan kepadanya. Setiap orang selalu mengharapkan
ucapan terima kasih.

Di terangkan dalam Hadist yang mengungkapkan tentang Terima Kasih :

1) Seseorang tidak dikatakan bersyukur kepada Allah sampai ia juga berterima kasih kepada
manusia. Sebagaimana dalam Hadist :
" Tidak bersyukur kepada Allah, Bagi siapa yang tidak berterima kasih kepada manusia ".
( HR. Abu Dawud ).
" Sesungguhnya manusia yang paling bersyukur kepada Allah adalah yang paling berterima
kasih kepada manusia ". ( HR. Imam Ahmad ).

2). Mendoakan dan memuji termasuk ungkapan terima kasih .
" Oleh Usamah bin Zaid r.a., berkata, Rasulullah SAW bersabda : " Barangsiapa diberikan
kepadanya, lalu ia berkata kepada pelakunya, " Semoga Allah SWT membalasmu dengan
kebaikan" , maka ia telah mencapai pujian kepadanya." . ( HR. At. Tirmidzi ).

3). Ketika Rasulullah SAW meminta pinjaman kepada Abdullah bin Abi Rabi'ah Al Makhzumi
sebelum peperangan Hunain, beliau mengembalikan pinjamannya setelah perang usai.
Beliau berkata kepadanya, " Semoga Allah SWT memberkahimu di dalam keluarga dan
hartamu, sesungguhnya balasan memimjamkan adalah pelunasan dan pujian ."
( HR. An Nasa'i - Ibnu Majah dan Imam Ahmad ).

Dalam Syair Imam Asy- Syafi'i :

Apabila atas sedikit nikmat yang ia dapatkan,
seseorang tidak bersyukur
Maka atas nikmat yang banyak ia tidak akan bersyukur

Barangsiapa berterima kasih kepada manusia,
kepada Tuhannya ia telah bersyukur.
Barang siapa mengingkari kebaikan makhluk,
ia adalah orang yang kufur.

Jagalah sikap syukur agar engkau dapat menambah pembagian
Barangsiapa menghilangkan terima kasih tidak akan
menyempurnakan nikmat
Syukur adalah harta kekayaan Allah yang tak akan habis
Barangsiapa selalu bersyukur tidak akan menanggung penyesalan.

Jika ada yang berbuat kebaikan kepadamu, jadilah baginya
Orang yang berterima kasih, niscaya kebajikannya tak akan sirna.

Wassalam.....

Kutipan : " Ta'aruF CINTA ". Kary ; Muhammad Bin Ismail Al' Umrani.

Sumber: Catatan Galuh Rossie (FB)
http://www.facebook.com/note.php?note_id=141804939182825&ref=notif¬if_t=note_tag

Ujian dari Allah

Rasulullah SAW bersabda:
"Sungguh Allah akan menguji kamu dengan berbagai cobaan, sebagaimana kamu
menguji (membakar) emas dengan api. Ada orang yang keluar (dari ujian
tersebut) seperti emas murni, orang itulah yang dilindungi Allah dari
kejelekan; ada juga orang yang keluar seperti emas yang tidak murni, orang
itu masih dipenuhi keraguan; dan terakhir ada orang yang keluar seperti emas
hitam, orang itulah yang terkena fitnah (siksa)."
(HR Al Hakim dalam al-Mustadrak dan dia menganggapnya shahih no 7878.
Hadits ini diriwayatkan juga oleh ath-Thabrani dalam al-Mu'jam)

Pernah Anda mengamati begaimana emas dibakar dengan api? Jika menginginkan
emas murni 24 karat, Anda harus memanggangnya di atas api yang lebih besar.
Diantara manusia itu ada yang keluar (dari ujian) bak emas murni, yaitu emas
yang bersih dan bening seketika. Adakah di antara kita orang yang keluar
seperti emas murni tersebut? Jika ada, berarti ialah orang yang dilindungi
Allah SWT.

Ada lagi orang yang keluar (dari ujian tersebut) dalam keadaan bingung,
suatu saat ia memuji Allah dan di lain kesempatan dia kembali kepada
kebiasaannya (bermaksiat). Ada lagi tipe orang yang keluar seperti emas yang
hitam pekat yang sudah menjadi arang. Golongan manusia jenis inilah yang
terlaknat.

Di hari kiamat setiap kita akan ditanya. Nah, seperti apakah Anda? Termasuk
jenis emas manakah Anda? murni, campuran, atau...??

Mungkin kita tidak pernah mengalami musibah seperti yang dialami Nabi Yaqub
as. Meskipun Allah sangat menyayanginya, Dia tetap mengujinya. Kalau Allah
menguji Anda dengan suatu musibah, janganlah mengatakan, "Sungguh, Allah
sedang murka kepadaku." Ya Allah, mengapa Engkau menimpakan ini kepadaku?"
Janganlah sekali-kali Anda mengucapkan kata-kata itu, karena sesungguhnya
Allah menyayangi Anda. Mungkin Anda mempunyai dosa yang Anda tanggunghingga
Anda masuk neraka Jahannam. Allah SWT tidak menginginkan Anda masuk neraka.
Allah hendak menyucikan diri Anda dan memasukkan Anda ke dalam surgaNya.
Karena itu, Allah menguji Anda dengan musibah. Pada hari kiamat, Allah
menginginkan Anda berdiri tegak di hadapanNya. Untuk itu, Allah terlebih
dahulu menyucikan diri Anda di dunia ini.

Sumber: http://www.facebook.com/notes/artikel-renungan-kisah-motifasi/ujian-dari-allah/145671922111280

Wednesday 28 July 2010

IRI HATI RACUN KEBAHAGIAAN

“Rasa iri menggerogoti sukacita, kebahagiaan, dan kepuasan hidup seseorang sampai habis.”


Dahulu di sebuah desa, hiduplah seorang tabib yang sangat pandai mengobati orang. Namanya tabib Lie. Selain pandai mengobati, tabib Lie pun tidak pernah meminta bayaran tinggi sesuai kemampuan penduduk. Itulah sebabnya penduduk senang sekali kepadanya. Keadaan itu membuat tabib Han menjadi iri. Sebenarnya tabib Han juga pandai mengobati orang. Namun, sayang ia selalu meminta bayaran yang tinggi. Jadi penduduk desa kurang senang kepadanya.

Melihat kesuksesan tabib Lie, timbullah niat jahat di benak tabib Han. Suatu hari tabib Han menghadap Baginda Raja Mhing. Raja Mhing terkenal sebagai penguasa yang kurang bijaksana dan cepat sekali emosi. Tabib Han pun memanfaatkan hal itu untuk mencelakan tabib Lie.

Tabib Han melaporkan kepada Baginda Raja, “ Wahai Baginda yang mulia , Tabib Lie ternyata mempunyai sebutir pil umur panjang. Ia sengaja menyembunyikannya untuk dipakai sendiri.”. “Pil umur panjang ? ”kening baginda mengerut. “Benar yang Mulia, tabib Lie berusaha menyembunyikan pil penemuannya itu,”kata tabib Han, berusaha membohongi Baginda.

Mendengar ada sebutir pil yang dapat membuat seseorang menjadi berumur panjang, Baginda Raja pun tertarik. Baginda Raja segera memerintahkan tabib Lie untuk menghadapnya. Tabib lie terkejut saat medengar permintaan Baginda Raja. “Ampun, Baginda Raja. Sebenarnya hamba tidak mempunyai pil umur panjang,”kata tabib hati-hati. Mendengar perkataan tersebut baginda pun marah,”Jangan bohong! Aku tahu kau sengaja menyembunyikan pil itu untuk kau makan sendiri. Aku tidak mau tahu. Kau harus memenuhi permintaanku. Kuberi kau waktu satu minggu. Jika kau tidak memberikan pil itu, kepalamulah taruHannya.” Tabib lie tidak lagi dapat berkata-kata.

Ia mengetahui ini pasi ulah tabib Han, orang yang iri dan selalu mau menyingkirkannya. Tabib Lie kembali ke rumah. Ia sangat sedih dan tidak dapat tidur nyenyak. Istirnya yang mengetahui keadaan suaminya, datang mendekatinya lalu mebisikan sesuatu kepadanya tiba-tiba saja wajah murung tabib Lie berubah ceria. Ternyata sang istri telah memberinya sebuah ide cemerlang untuk mengatasi masalahnya.

Beberapa hari berlalu. Akhirnya waktu yang ditentukan Baginda Raja telah berakhir. Tabib Han bersorak melihat keadaan tabib Lie. “Kali ini kau pasti dapat kusingkirkan,” pikir tabib Han.

Pagi itu tabib Lie datang menghadap Baginda Raja. “Mana pil pesananku?”Tanya Baginda tanpa basa-basi. “Ampun yang Mulia, sebelum hamba memberikan pil umur panjang itu, izinkan hamba menyampaikan sesuatu,”ujar tabib Lie “Cepat katakana,” jawab baginda Raja tak sabar “Pil umur panjang itu baru akan berkhasiat jika Baginda meminumnya sesuai dengan syarat-syaratnya,”jawab tabib Lie menjelaskan.
“Syarat?”Tanya Baginda tidak mengerti
“Sebelum pil umur panjang itu Baginda minum, Baginda harus menjalani puasa selama empat puluh hari empat puluh malam,”jelas tabib Lie
“Syarat yang aneh,”ujar Baginda Raja. “Tetapi baiklah aku akan melakukannya,”lanjutnya.

Akhirnya mulai hari itu Baginda pun menjalani puasanya. Hari pertama puasa, Baginda dapat menjalaninya dengan baik tetapi memasuki hari ke-3 Baginda merasa resah. Ia tidak dapat tidur dan bekerja dengan konsentrasi karena rasa lapar yang dideritanya.

”Apa enaknya mendapatkan pil umur panjang itu kalau aku harus berpuasa sampai empat puluh hari. Mungkin sebelum aku mendapatkannya pil itu aku sudah mati kelaparan,”pikir Baginda Tiba-tiba Baginda sadar kalau permintaanya itu aneh.”mana ada manusia yang abadi ?, Setiap manusia pasti akhirnya akan meninggal juga,”kata baginda.”Alangkah bodohnya aku karena menerima laporan yang tidak masuk akal begitu saja dari tabib Han,”sesal Baginda. Akhirnya Baginda sadar bahwa tabib Han sudah membohonginya. Segera saja ia menyuruh pengawalnya menangkap tabib Han dan menjebloskannya ke dalam penjara.


Sahabat, Hanya sedikit orang yang memiliki sikap menghormati keberhasilan seorang teman tanpa rasa iri hati”. Rasa iri memang hanya akan merusak hati dan kehidupan seseorang. Selain menjauhkan kita dari sukacita dan damai sejahtera, iri hati Hanya akan menyengsarakan hidup. Sesungguhnya, orang bodoh dibunuh oleh sakit hati dan orang bebal dimatikan oleh iri hati.

Bila meyadari bahwa tidak ada satu pun keuntungan dengan menyimpan salah satu penyakit hati itu, mengapa kita tidak berusaha menyingkirkannya? Belajarlah untuk dapat menerima kesuksesan orang lain dengan lapang dada karena terkadang kita harus mengakui bahwa ”diatas langit masih ada langit”. Atau ketika kita melihat keberhasilan seseorang, jadikanlah hal itu sebagai lecutan yang memotivasi diri agar mampu bekerja lebih maksimal lagi. Bila perlu bergaulah dengan mereka dan jalin sebuah hubungan yang baik agar kita pun bias belajar sesuatu untuk meraih sukses.
Jika mereka mampu, kita juga pasti mampu. JIKA KITA SIBUK MEMPERSIAPKAN DIRI MENJADI PRIBADI YANG SEMAKIN BAIK DARI HARI KE HARI, SAYA RASA KITA TIDAK AKAN PUNYA CUKUP WAKTU UNTUK MERASA IRI DENGAN ORANG LAIN. Bagaimana menurut Anda?

"Jangan Sesekali Kamu Iri Hati Kerana Iri Hati Menghapuskan Kebajikan Seperti Api Menghanguskan Kayu Bakar" - Riwayat Abu Dawud

Terapi Mengobati Iri hati

Iri hati adalah penyakit hati yang paling berbahaya. Dan hati tidak bisa diobati kecuali dengan ilmu dan amal. Ilmu tentang iri hati yaitu hendaknya kita ketahui bahwa iri hati sangat membahayakan kita, baik dalam hal agama maupun dunia. Dan bahwa keiri hatian itu setitikpun tidak membahayakan orang yang diirihati, baik dalam hal agama atau dunia, bahkan ia malah memetik manfaat darinya. Dan nikmat itu tidak akan hilang dari orang yang kita iri hati hanya karena keiri hatian kita.

Bahkan seandainya ada orang yang tidak beriman kepada hari Kebangkitan, tentu lebih baik baginya meninggalkan sifat iri hati daripada harus menanggung sakit hati yang berkepanjangan dengan tiada manfaat sama sekali, apatah lagi jika kemudian siksa akhirat yang sangat pedih menanti?

Bahkan kemenangan itu ada pada orang yang diiri hati, baik untuk agama maupun dunia. Dalam hal agama, orang itu teraniaya oleh Kita, apalagi jika keiri hatian itu tercermin dalam kata-kata, umpatan, penyebaran rahasia, kejelekan dan lain sebagainya. Dan balasan itu akan dijumpai di akhirat. Adapun kemenangannya di dunia adalah musuhmu bergembira karena kesedihan dan keirihatianmu itu.

Adapun amal yang bermanfaat yaitu hendaknya kita melakukan apa yang merupakan lawan dari keiri hatian. Misalnya, jika dalam jiwa kita ada iri hati kepada seseorang, hendaknya kita berusaha untuk memuji perbuatan baiknya, jika jiwa ingin sombong, hendaknya kita melawannya dengan rendah hati, jika dalam hati kita terbetik keinginan menahan nikmat pada orang lain maka hendaknya kita berdo'a agar nikmat itu ditambahkan. Dan hendaknya kita teladani perilaku orang-orang salaf yang bila mendengar ada orang iri padanya, maka mereka segera memberi hadiah kepada orang tersebut.

Dan sebagai penutup tulisan ini, ada baiknya kita renungkan kata-kata Ibnu Sirin: "Saya tidak pernah meng-iri hati kepada seorangpun dalam urusan dunia, sebab jika dia penduduk Surga, maka bagaimana aku menghasudnya dalam urusan dunia sedangkan dia berjalan menuju Surga. Dan jika dia penduduk Neraka, bagaimana aku menghasud dalam urusan dunianya sementara dia sedang berjalan menuju ke Neraka."

Sahabat, namun ada dua iri hati yang diperbolehkan yaitu :
1. Iri terhadap orang yang dikaruniai kemampuan membaca Al-Qur’an lalu ia membacanya siang dan malam hari
2. Iri terhadap orang yang dikaruniai Harta lalu ia mensedekahkan pada siang dan malam hari

Sumber: Rumah Yatim Indonesia

Mengapa Surah At Taubah Tidak Diawali Dengan Basmalah?

Surat At-Taubah, atau sering disebut juga dengan nama surat Baro'ah. Disebut dengan Baro'ah yang bermakna pemutusan hubungan, karena isinya merupakan bentuk pemutusan hubungan (perjanjian damai) dengan musuh-musuh Islam saat itu. Surat ini diturunkan sesudah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam kembali dari peperangan Tabuk yang terjadi pada tahun 9 H. Pengumuman ini disampaikan oleh Saidina Ali radiyallahu 'anhu pada musim haji tahun itu juga.

Pada penulisan surat At-Taubah dalam mushaf Al-Qur'an, lafadz basmalah
tidak dicantumkan dipermulaan surat tersebut. Hal tersebut berbeda dengan surat-surat yang lainnya yang mencantumkan basmalah di permulaan ayat. Ada beberapa penjelasan dari para ulama mengapa basmalah tersebut tidak dicantumkan di permulaan surat At-Taubah.

1. Pendapat Pertama
Al-Mubarrid berpendapat bahwa merupakan kebiasaan orang Arab apabila mengadakan suatu perjanjian dengan suatu kaum kemudian bermaksud membatalkan perjanjian tersebut, maka mereka menulis surat dengan tidak mencantumkan basmalah di dalamnya. Maka ketika turun surat baro'ah (At-taubah) yang memutuskan perjanjian antara Nabi SAW dengan orang-orang musyrik, beliau mengutus Ali bin Abi Thalib ra. kemudian membacakan surat tersebut tanpa mengucapkan Basmalah di permulaannya. Hal ini sebagaimana kebiasan yang berlaku di bangsa Arab.

2. Pendapat Kedua
Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Mardawaih dari Ibnu Abbas ra. bahwa ia pernah bertanya kepada Ali bin Abi Thalib tentang sebab basmalah tidak ditulis di permulaan surat Baro'ah. Ali bin Abi Thalib ra. menjawab, "Basmalah adalah aman (mengandung rasa aman) sedangkan Baro'ah turun dengan pedang (berkaitan dengan peperangan)."

3. Pendapat Ketiga
Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi dan an-Nasa'i dari Ibnu Abbas ra, bahwa beliau ra. pernah bertanya kepada Utsman bin al-Affan ra, "Apa yang menjadi alasan Anda mencantumkan surat At-Taubah setelah surat Al-Anfal, tanpa mencantumkan basmalah di antara keduanya?" Beliau menjawab bahwa Rasulullah SAW apabila turun suatu ayat, maka beliau akan memanggil para penulis wahyu dan berkata, "Cantumkan ayat-ayat ini di surat yang disebutkan di dalamnya anu dan anu. Surat Al-Anfal merupakan surat-surat yang pertama diturunkan di Madinah, sedangkan Baro'ah merupakan surat yang terakhir turun. Dan ternyata kisah yang terkandung di dalam kedua surat tersebut saling menyerupai, sehingga aku mengira bahwa surat Bara'ah termasuk surat Al-Anfal.
Kemudian Rasulullah SAW wafat sebelum sempat menjelaskan hal tersebut. Oleh karena itu aku menggandengkan kedua surat tersebut dan tidak mencantumkan basmalah di antara keduanya dan menempatkannya dalam As-Sab'u Ath-Thiwal. (Tafsir Fathul-Qadir karya Imam Ali As-Syaukani II/415-416).

Pendapat lain mengatakan:
Ketika Al quran sudah hampir selesai dibukukan (dimushafkan) terjadi perselisihan antara semua para Shahabat apakah Al Anfal (sebelum At taubah) dan At taubah itu tergabung dalam satu surah atau terpisah. Kalau benar satu surah, maka bacaan basmalah yang sebagai Fashil (pemisah) antara surah-surah Al Qur'an cuma dibaca di awal surah Al Anfal. Kalau benar dua surah yang terpisah, maka pada awal surah Al Anfal dibaca ada Basmalah dan juga pada awal surah At Taubah juga dibaca Basmalah.
Kedua pendapat ini sama-sama kuat, maka setelah semua Shahabat bermusyawarah, maka diambil keputusan bahwa Al Anfal dan AtTaubah adalah 2 surah yang terpisah, tetapi pada awal surah At Taubah tidak dibaca Basmalah.

Para Ulama masih berselisih mengenai hal ihwal larangan tersebut. Syeikh Al-Ramli mengatakan makruh membaca Basmalah di awal surah al-Taubah dan sunat di pertengahannya. Imam Ibnu Hajar, Syeikh al-Khatib dan Imam al-Syatibi mengatakan haram membaca Basmalah di permulaan surah aT-Taubah dan makruh di pertengahan.

Itulah beberapa pendapat mengenai alasan tidak dicantumkannya basmalah di permulaan surat At-Taubah. Oleh karena itu jika kita membaca surat tersebut dari permulaannya, maka kita hanya disunahkan mengucapkan ta'awudz saja tanpa basmalah. Demikian halnya jika kita membaca dari pertengahannya. Kita juga cukup membaca ta'awudz saja.

Apabila kamu membaca al-Qur'an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.(QS An-Nahl: 98)

Untuk menggantikan bacaan basmalah pada awal surat ini, biasanya beberapa mushof menyertakan bacaan ta’awudz yang khusus untuk mengawali surat ini. Bacaan Ta’awudz tersebut adalah sebagai berikut :

A'uudzubillaahi minannaari wa minsyarril kuffaar wa min ghodlobil jabbaar. Al 'izzatulillahi wa lirosuulihii wa lilmu'miniin

Wallahu a'lam bish-shawab,
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Sumber dan referensi:

http://4hmadyusuf.multiply.com/reviews/item/11

http://www.acehforum.or.id/showthread.php?8828-Kenapa-Surat-At-Taubah-ga-baca-basmalah-baca-ini-yah

http://lilmessenger.wordpress.com/2008/03/24/larangan-membaca-basmalah-pada-awal-surat-at-taubah/

Indahnya Cinta Karena Allah

-Wujudkanlah Kecintaan Kepada Saudaramu Karena Allah

Mari kita bersama mengurai, apa contoh sederhana yang bisa kita lakukan sehari-hari sebagai bukti mencintai sesuatu bagi saudara kita yang juga kita cintai bagi diri kita…

-Mengucapkan Salam dan Menjawab Salam Ketika Bertemu

“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Tidak maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai: Sebarkanlah salam diantara kalian.” (HR. Muslim)

Pada hakekatnya ucapan salam merupakan do’a dari seseorang bagi orang lain. Di dalam lafadz salam “Assalaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh” terdapat wujud kecintaan seorang muslim pada muslim yang lain. Yaitu keinginannya agar orang yang disapanya dengan salam, bisa memperoleh keselamatan, rahmat, dan barokah. Barokah artinya tetapnya suatu kebaikan dan bertambah banyaknya dia. Tentunya seseorang senang bila ada orang yang mendo’akan keselamatan, rahmat, dan barokah bagi dirinya. Semoga Allah mengabulkan do’a tersebut. Saudariku fillah, bayangkanlah! Betapa banyak kebahagiaan yang kita bagikan kepada saudara kita sesama muslim bila setiap bertemu dengan muslimah lain -baik yang kita kenal maupun tidak kita kenal- kita senantiasa menyapa mereka dengan salam. Bukankah kita pun ingin bila kita memperoleh banyak do’a yang demikian?! Namun, sangat baik jika seorang wanita muslimah tidak mengucapkan salam kepada laki-laki yang bukan mahromnya jika dia takut akan terjadi fitnah. Maka, bila di jalan kita bertemu dengan muslimah yang tidak kita kenal namun dia berkerudung dan kita yakin bahwa kerudung itu adalah ciri bahwa dia adalah seorang muslimah, ucapkanlah salam kepadanya. Semoga dengan hal sederhana ini, kita bisa menyebar kecintaan kepada sesama saudara muslimah. Insya Allah…

-Bertutur Kata yang Menyenangkan dan Bermanfaat

Dalam sehari bisa kita hitung berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk sekedar berkumpul-kumpul dan ngobrol dengan teman. Seringkali obrolan kita mengarah kepada ghibah/menggunjing/bergosip. Betapa meruginya kita. Seandainya, waktu ngobrol tersebut kita gunakan untuk membicarakan hal-hal yang setidaknya lebih bermanfaat, tentunya kita tidak akan menyesal. Misalnya, sembari makan siang bersama teman kita bercerita, “Tadi shubuh saya shalat berjamaah dengan teman kost. Saya yang jadi makmum. Teman saya yang jadi imam itu, membaca surat Al-Insan. Katanya sih itu sunnah. Memangnya apa sih sunnah itu?” Teman yang lain menjawab, “Sunnah yang dimaksud teman anti itu maksudnya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memang disunnahkan untuk membaca Surat Al-Insan di rakaat kedua shalat shubuh di hari Jum’at.” Lalu, teman yang bertanya tadi pun berkata, “Ooo… begitu, saya kok baru tahu ya…” Subhanallah! Sebuah makan siang yang berubah menjadi “majelis ilmu”, ladang pahala, dan ajang saling memberi nasehat dan kebaikan pada saudara sesama muslimah.

-Mengajak Saudara Kita Untuk Bersama-Sama Menghadiri Majelis ‘Ilmu

Dari obrolan singkat di atas, bisa saja kemudian berlanjut, “Ngomong-ngomong, kamu tahu darimana kalau membaca surat Al-Insan di rakaat kedua shalat shubuh di hari Jum’at itu sunnah?” Temannya pun menjawab, “Saya tahu itu dari kajian.” Alhamdulillah bila ternyata temannya itu tertarik untuk mengikuti kajian, “Kalau saya ikut boleh nggak? Kayaknya menyenangkan juga ya ikut kajian.” Temannya pun berkata, “Alhamdulillah, insyaAllah kita bisa berangkat sama-sama. Nanti saya jemput anti di kost.”

-Saling Menasehati, Baik Dengan Ucapan Lisan Maupun Tulisan

Suatu saat ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya tentang aibnya kepada shahabat yang lain. Shahabat itu pun menjawab bahwa dia pernah mendengar bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu memiliki bermacam-macam lauk di meja makannya. Lalu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pun berkata yang maknanya ‘Seorang teman sejati bukanlah yang banyak memujimu, tetapi yang memperlihatkan kepadamu aib mu (agar orang yang dinasehati bisa memperbaiki aib tersebut. Yang perlu diingat, menasehati jangan dilakukan didepan orang banyak. Agar kita tidak tergolong ke dalam orang yang menyebar aib orang lain. Terdapat beberapa perincian dalam masalah ini -pen).’ Bentuk nasehat tersebut, bukan hanya secara lisan tetapi bisa juga melalui tulisan, baik surat, artikel, catatan saduran dari kitab-kitab ulama, dan lain-lain.

-Saling Mengingatkan Tentang Kematian, Yaumil Hisab, At-Taghaabun (Hari Ditampakkannya Kesalahan-Kesalahan), Surga, dan Neraka

Sangat banyak orang yang baru ingin bertaubat bila nyawa telah nyaris terputus. Maka, diantara bentuk kecintaan seorang muslim kepada saudaranya adalah saling mengingatkan tentang kematian. Ketika saudaranya hendak berbuat kesalahan, ingatkanlah bahwa kita tidak pernah mengetahui kapan kita mati. Dan kita pasti tidak ingin bila kita mati dalam keadaan berbuat dosa kepada Allah Ta’ala.

Saudariku fillah, berbaik sangkalah kepada saudari muslimah mu yang lain bila dia menasehati mu, memberimu tulisan-tulisan tentang ilmu agama, atau mengajakmu mengikuti kajian. Berbaik sangkalah bahwa dia sangat menginginkan kebaikan bagimu. Sebagaimana dia pun menginginkan yang demikian bagi dirinya. Karena, siapakah gerangan orang yang senang terjerumus pada kubangan kesalahan dan tidak ada yang mengulurkan tangan padanya untuk menariknya dari kubangan yang kotor itu? Tentunya kita akan bersedih bila kita terjatuh di lubang yang kotor dan orang-orang di sekeliling kita hanya melihat tanpa menolong kita…

Tidak ada ruginya bila kita banyak mengutamakan saudara kita. Selama kita berusaha ikhlash, balasan terbaik di sisi Allah Ta’ala menanti kita. Janganlah risau karena bisikan-bisikan yang mengajak kita untuk “ingin menang sendiri, ingin terkenal sendiri”. Wahai saudariku fillah, manusia akan mati! Semua makhluk Allah akan mati dan kembali kepada Allah!! Sedangkan Allah adalah Dzat Yang Maha Kekal. Maka, melakukan sesuatu untuk Dzat Yang Maha Kekal tentunya lebih utama dibandingkan melakukan sesuatu sekedar untuk dipuji manusia. Bukankah demikian?

-Janji Allah Ta’Ala Pasti Benar !

Saudariku muslimah -semoga Allah senantiasa menjaga kita diatas kebenaran-, ketahuilah! Orang-orang yang saling mencintai karena Allah akan mendapatkan kemuliaan di Akhirat. Terdapat beberapa Hadits Qudsi tentang hal tersebut.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah berfirman pada Hari Kiamat, “Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku pada hari ini? Aku akan menaungi mereka dalam naungan-Ku pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Ku.” (HR. Muslim; Shahih)

Dari Abu Muslim al-Khaulani radhiyallahu ‘anhu dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan dari Rabb-nya, dengan sabdanya, ‘Orang-orang yang bercinta karena Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam naungan ‘Arsy pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya.’”

Abu Muslim radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Kemudian aku keluar hingga bertemu ‘Ubadah bin ash-Shamit, lalu aku menyebutkan kepadanya hadits Mu’adz bin Jabal. Maka ia mengatakan, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan dari Rabb-nya, yang berfirman, ‘Cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling tolong-menolong karena-Ku, dan cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling berkunjung karena-Ku.’ Orang-orang yang bercinta karena Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam naungan ‘Arsy pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya.” (HR. Ahmad; Shahih dengan berbagai jalan periwayatannya)

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman, ‘Orang-orang yang bercinta karena keagungan-Ku, mereka mendapatkan mimbar-mimbar dari cahaya sehingga para nabi dan syuhada iri kepada mereka.” (HR. At-Tirmidzi; Shahih)

Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmushshalihaat (artinya: “Segala puji bagi Allah, dengan nikmat-Nyalah segala kebaikan menjadi sempurna.” Do’a ini diucapkan Rasulullah bila beliau mendapatkan hal yang menyenangkan). Allah Ta’aala menyediakan bagi kita lahan pahala yang begitu banyak. Allah Ta’aala menyediakannya secara cuma-cuma bagi kita. Ternyata, begitu sederhana cara untuk mendapat pahala. Dan begitu mudahnya mengamalkan ajaran Islam bagi orang-orang yang meyakini bahwa esok dia akan bertemu dengan Allah Rabbul ‘alamin sembari melihat segala perbuatan baik maupun buruk yang telah dia lakukan selama hidup di dunia. Persiapkanlah bekal terbaik kita menuju Negeri Akhirat. Semoga Allah mengumpulkan kita dan orang-orang yang kita cintai karena Allah di Surga Firdaus Al-A’laa bersama para Nabi, syuhada’, shiddiqin, dan shalihin. Itulah akhir kehidupan yang paling indah…

Sumber: Harmoni Islam (FB)

MERAIH SUKSES DENGAN KONSEP 7B

Konsep 7B

Pertama, Beribadah dengan benar. Awali setiap pekerjaan dengan suatu niat yang baik yaitu hanya untuk memperoleh keridhoan Allah Ta’ala semata. Hal itu merupakan suatu ibadah dengan benar. Beribadah dengan benar akan membuat seseorang semakin tawadhu, hati rnenjadi tentram dan kehidupan akan seimbang. Hidup tanpa ibadah bagaikan bangunan tanpa fondasi. Maka segala sesuatu yang akan dilakukan hendaknya berdasarkan pada ibadah yang tujuannya untuk memperoleh keridhoan dan kasih sayang Allah SWT.

Kedua, Bertaqwa dengan baik. Selaku manusia yang beragama haruslah menjalankan syariatnya dengan baik. Untuk dapat menjalankan syariat dengan baik tentu harus dibarengi dengan iman. Iman seseorang dapat dikatakan berkualitas, jika ia dapat bertaqwa dengan baik. Dengan iman dan taqwa yang baik segala perbuatannya akan senantiasa berdasarkan kepada syariat agama dan tidak akan merugikan mahluk ciptaan Allah yang lain.

Ketiga, Belajar tiada henti. Ibadah benar dan akhlak baik belumlah cukup jika tidak didukung upaya belajar dari kita. Belajar merupakan suatu kebutuhan bahkan kewajiban. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an “Aku senantiasa meningkatkan derajat beberapa tingkat bagi mereka yang berilmu” (QS al-Hujurât []: ). Demikian pula sabda Nabi Muhammad s.a.w, “Tuntutlah ilmu mulai dari buaian sampai liang lahat” (HR ). Dari hari ke hari masalah, potensi konflik, dan kebutuhan kita akan terus bertambah. Bagaimana mungkin kita mampu menyikapi masalah tersebut dengan ilmu seadanya tanpa ada peningkatan kualitas dan kuantitas? Ciri orang yang sungguh-sungguh dalam mencapai kesuksesan adalah mau belajar tiada henti dan memperoleh ilmu.

Keempat, Bekerja keras dengan cerdas dan ikhlas. Kita harus menanamkan standar pada diri kita, yaitu bekerja optimal dengan pemikiran yang cerdas. Ada orang yang bekerja dengan keras tapi kurang menggunakan akalnya, akibatnya dia hanya menjadi pekerja keras saja tanpa ada kemajuan

Kelima, Bersahaja dalam hidup. Seorang pekerja keras seringkali terpuruk karena ketidak bersahajaannya dalam hidup. Dia boros, senang bermegah-megah, sehingga mudah terpedaya dan tertipu orang lain. Lain halnya jika dia bersahaja, kemampuan keuangannya lebih tinggi dibandingkan kebutuhannya. Jadi orang yang gemar menabung, bersedekah, dan investasi untuk masa mendatang yang bermanfaat bagi dirinya maupun generasi mendatang. Inilah budaya yang harus ajarkan ke masyarakat kita saat ini. Budaya kita bukanlah budaya yang banyak memiliki banyak barang, tetapi budaya yang selalu memiliki nilai tambah dari segala yang kita miliki.

Keenam, Bantu sesama. Salah satu alat ukur kesuksesan adalah dilihat dari kemampuan kita membangun diri dan orang lain, misalnya dengan membuka lapangan kerja sebanyak mungkin. Kelebihan yang kita miliki digunakan untuk memajukan sanak saudara, tetangga, teman, pembantu, dan siapa saja yang mau maju dan membutuhkan. Jika antara orang yang membantu dan orang yang dibantu memiliki kesamaan tata nilai, ibadah benar; taqwa baik, belajar tiada henti, serta kerja keras dengan cerdas dan ikhlas, maka apa yang telah dihasilkan oleh keduanya akan digunakan untuk menolong saudaranya. Dengan demikian terjadilah sebuah sinergi yang harmonis dalam kehidupan bernegara.

Ketujuh, Bersihkan hati selalu. Untuk apa kita harus selalu membersihkan hati? Apa yang kita lakukan, dari B yang pertama hingga B yang keenam jika tidak diiringi dengan selalu membersihkan hati, maka dikhawatirkan akan timbul ujub atau bahkan yang lebih besar lagi yaitu takabur. Jika semuanya menjadikan kita ujub, maka sia-sialah apa yang telah dilakukan. Allah tidak akan menerima amal seseorang kecuali ada keihkhlasan didalamnya. Kita tidak perlu merasa paling bisa, berjasa, dan paling mulia karena semuanya adalah karunia Allah semata. Kita harus bersyukur diberikan jalan kesuksesan atau kemudahan bagi orang lain oleh Allah. Inilah orang yang akan sukses karena tidak ada dalam dirinya rasa ujub dan sikap takabur dengan segala prestasi yang diraihnya. Apalah artinya kita mendapat banyak hal bila kita tidak mendapat ridha dari Allah karena kesombongan kita.

Kita harus sama-sama belajar menetapkan kiat ini dalam diri kita dan keluarga. Jika sedikit demi sedikit upaya yang kita lakukan telah membuahkan hasil, maka kita jangan sampai hanya jadi jago kandang saja. Kita harus berani menerapkannya diluar lingkungan keluarga kita. Jangan takut dengan lingkungan kita, jika pondasi kita sudah kuat. Sebetulnya kita tidak boleh gentar dengan situasi di luar. Yang merusak kita itu sebetulnya bukan luar, tapi memang apa yang ada di dalam diri kita. Kalau kita sudah mendesain diri dan terus melakukan penguatan diri, maka kita tidak bisa memaksa lingkungan agar sesuai dengan keinginan kita. Mudah-mudahan semua kita ini dapat menjadi solusi bagi setiap permasalahan dalam diri, keluarga dan lingkungan sekitar, atau bahkan bangsa Indonesia.

semoga bermanfaat...

Sumber: majlis Ta'lim Al Husaini (FB)

Tujuan Manusia Diciptakan

Apa tujuan penciptaan manusia?

Jawab :

Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya ingin meng-ingatkan pada kaidah umum tentang apa yang diciptakan Allah Ta'ala dan apa yang disyari’atkan-Nya. Kaidah ini diambil dari firman Allah Ta'ala:
“Sesungguhnya Dialah yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (Yusuf: 83), dan firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (Al-Ahzab: 1) serta ayat-ayat lainnya yang menunjukkan tentang pene-tapan hikmah Allah Ta'ala pada apa yang diciptakan-Nya dan apa yang disyari’atkan-Nya, yaitu ketentuan-ketentuan-Nya dalam penciptaan dan syari’at. Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang diciptakan Allah Ta'ala kecuali ada hikmahnya, baik itu dalam hal mengadakannya ataupun meniadakannya, dan tidak ada sesuatu pun yang disyari’atkan Allah Ta'ala kecuali untuk suatu hikmah, baik itu yang diwajibkan, atau yang diha-ramkan ataupun yang dibolehkan.
Namun kadang-kadang hikmah-hikmah yang tercakup dalam hikmah penciptaan dan pensyari’atan itu kita ketahui, kadang pula tidak kita ketahui dan ada pula yang hanya diketahui oleh sebagian orang saja sesuai dengan ilmu dan pemahaman yang diberikan Allah Ta'ala kepada mereka. Demikianlah, maka kami katakan; bahwa sesungguh-nya Allah Ta'ala menciptakan jin dan manusia untuk suatu hikmah yang agung dan tujuan yang mulia, yaitu untuk beribadah (menghamba) kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56).
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembali-kan kepada Kami?” (Al-Mukminun: 115).
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (Al-Qiyamah: 36).
Dan masih banyak ayat-ayat lainnya yang menunjukkan bahwa Allah Ta'ala mempunyai hikmah yang agung dalam penciptaan jin dan manusia, yaitu untuk beribadah kepada-Nya.
Ibadah adalah tunduk dan patuh kepada Allah Ta'ala dengan penuh kecintaan dan pengagungan dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sesuai dengan tuntunan yang ditetapkan dalam syari’at-syari’at-Nya. Allah Ta'ala berfirman,
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5).
Jadi, itulah hikmah penciptaan jin dan manusia. Dan berdasarkan ini, maka barangsiapa yang membelakangi Rabbnya dan enggan beriba-dah kepada-Nya, berarti ia telah mencampakkan hikmah penciptaan para hamba, dan perbuatannya itu berarti persaksiannya bahwa Allah Ta'ala telah menciptakan makhluk dengan sia-sia, kendati hal itu tidak dinyata-kannya, namun telah menunjukkan keangkuhan dan kesombongannya untuk taat kepada Rabbnya.

Wallahu a'lam
Semoga bermanfaat.

Oleh: Abu Fauzan
Imam Bukhari (FB)

Keutamaan Bulan Sya'ban

From : http://rumaysho.com/download-e-book/cat_view/32-amalan.html

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.
Alhamdulillah, saat ini kita telah menginjak bulan Sya’ban. Namun kadang kaum muslimin belum mengetahui amalan-amalan yang ada di bulan tersebut. Juga terkadang kaum muslimin melampaui batas dengan melakukan suatu amalan yang sebenarnya tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga dalam tulisan yang singkat ini, Allah memudahkan kami untuk membahas serba-serbi bulan Sya’ban. Allahumma a’in wa yassir (Ya Allah, tolong dan mudahkanlah kami).

>> Keutamaan Bulan Sya’ban <<

Dari Usamah bin Zaid, beliau berkata, “Katakanlah wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa selama sebulan dari bulan-bulannya selain di bulan Sya’ban”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits di atas terdapat dalil mengenai dianjurkannya melakukan amalan ketaatan di saat manusia lalai. Inilah amalan yang dicintai di sisi Allah.” (Lathoif Al Ma’arif, 235)

Terdapat suatu amalan yang dapat dilakukan di bulan ini yaitu amalan puasa. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri banyak berpuasa ketika bulan Sya’ban dibanding bulan-bulan lainnya selain puasa wajib di bulan Ramadhan.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengatakan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156)

Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya sedikit hari saja.” (HR. Muslim no. 1156)

Dari Ummu Salamah, beliau mengatakan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setahun tidak berpuasa sebulan penuh selain pada bulan Sya’ban, lalu dilanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Lalu apa yang dimaksud dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya (Kaana yashumu sya’ban kullahu)? Asy Syaukani mengatakan, “Riwayat-riwayat ini bisa dikompromikan dengan kita katakan bahwa yang dimaksud dengan kata “kullu” (seluruhnya) di situ adalah kebanyakannya (mayoritasnya). Alasannya, sebagaimana dinukil oleh At Tirmidzi dari Ibnul Mubarrok. Beliau mengatakan bahwa boleh dalam bahasa Arab disebut berpuasa pada kebanyakan hari dalam satu bulan dengan dikatakan berpuasa pada seluruh bulan.” (Nailul Author, 7/148). Jadi, yang dimaksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di seluruh hari bulan Sya’ban adalah berpuasa di mayoritas harinya.
Lalu Kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak puasa penuh di bulan Sya’ban? An Nawawi rahimahullah menuturkan bahwa para ulama mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib. ”(Syarh Muslim, 4/161)

Di antara rahasia kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban adalah karena puasa Sya’ban adalah ibarat ibadah rawatib (ibadah sunnah yang mengiringi ibadah wajib). Sebagaimana shalat rawatib adalah shalat yang memiliki keutamaan karena dia mengiringi shalat wajib, sebelum atau sesudahnya, demikianlah puasa Sya’ban. Karena puasa di bulan Sya’ban sangat dekat dengan puasa Ramadhan, maka puasa tersebut memiliki keutamaan. Dan puasa ini bisa menyempurnakan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab, 233)

Hikmah di balik puasa Sya’ban adalah:

1. Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadhan. Tatkalah manusia lalai, inilah keutamaan melakukan amalan puasa ketika itu. Sebagaimana seseorang yang berdzikir di tempat orang-orang yang begitu lalai dari mengingat Allah -seperti ketika di pasar-, maka dzikir ketika itu adalah amalan yang sangat istimewa. Abu Sholeh mengatakan, “Sesungguhnya Allah tertawa melihat orang yang masih sempat berdzikir di pasar. Kenapa demikian? Karena pasar adalah tempatnya orang-orang lalai dari mengingat Allah.”

2. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa setiap bulannya sebanyak tiga hari. Terkadang beliau menunda puasa tersebut hingga beliau mengumpulkannya pada bulan Sya’ban. Jadi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memasuki bulan Sya’ban sedangkan di bulan-bulan sebelumnya beliau tidak melakukan beberapa puasa sunnah, maka beliau mengqodho’nya ketika itu. Sehingga puasa sunnah beliau menjadi sempurna sebelum memasuki bulan Ramadhan berikutnya.

3. Puasa di bulan Sya’ban adalah sebagai latihan atau pemanasan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Jika seseorang sudah terbiasa berpuasa sebelum puasa Ramadhan, tentu dia akan lebih kuat dan lebih bersemangat untuk melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 234-243)

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan kita mengikuti suri tauladan kita untuk memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Semoga dengan melakukan hal ini kita termasuk orang yang mendapat keutamaan yang disebutkan dalam hadits qudsi berikut,
“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506). Orang yang senantiasa melakukan amalan sunnah (mustahab) akan mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan memberikan orang seperti ini keutamaan dengan mustajabnya (terkabulnya) do’a. (Faedah dari Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad)

Demikian pembahasan kami mengenai panduan amalan di bulan Sya’ban. Semoga apa yang kami suguhkan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian. Semoga Allah selalu memberikan kepada kita ilmu yang bermanfaat, rizki yang thayib dan amalan yang diterima. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

***
Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 29 Rajab 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com/


Lebih lengkap informasi tentang bulan Sya'ban :
http://rumaysho.com/download-e-book/cat_view/32-amalan.html

Sumber: MPI (FB)