Assalamu'alaikum.

Assalamu'alaikum
Selamat datang di blog ini. Terimaksih atas kunjungannya sahabat

Semoga dapat bermanfaat untuk membuat kita lebih baik lagi, amin....
(bagi yang ingin copy and share artikel yang ada dblog ini, silahkan saja, asal cantumkan sumbernya... :)

Friday 18 June 2010

Kekeliruan Para Orientalis

Al-Qur`an merupakan target utama serangan misionaris dan orientalis—Yahudi dan Kristen--setelah gagal menghancurkan sirah dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sayangnya, serangan tersebut didasari oleh asumsi yang keliru.

Pertama, mereka mengasumsikan bahwa Al-Qur`an adalah dokumen tertulis atau teks, bukan “hafalan yang dibaca”. Padahal, pada prinsipnya Al-Qur`an bukanlah tulisan (rasm atau writing), tetapi bacaan (qira'ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Baik proses turunnya (pewahyuan), penyampaian, pengajaran, sampai periwayatannya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Dari dahulu, yang dimaksud dengan ”membaca Al-Qur`an” adalah membaca dari ingatan (qara'a 'an zhahri qalbin atau to recite from memory).

Tulisan yang ada berfungsi sebagai penunjang semata-mata. Sebab pada awalnya ayat-ayat Al-Qur`an dicatat di atas tulang, kayu, kertas, daun, berdasarkan hafalan sang qari'/muqri'. Proses transmisi semacam ini--dengan isnad (narasumber) secara mutawatir dari generasi ke generasi--terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian Al-Qur`an hingga hari ini.

Ini sungguh berbeda dengan kasus Bibel. Tulisannya—fakta manuskrip dalam bentuk papyrus, perkamen, dan sebagainya--memegang peran utama dan berfungsi sebagai acuan dan landasan bagi Testamentum (perjanjian) alias Gospel.

Dengan asumsi keliru ini—menganggap Al-Qur`an semata-mata sebagai teks-- mereka lantas mau menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bibel, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism. Akibatnya, mereka menganggap Al-Qur`an sebagai produk sejarah, hasil interaksi orang Arab abad ke-7 Masehi dan 8 dengan masyarakat sekeliling mereka.

Mereka mengatakan bahwa mushaf yang ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (yang mereka sendiri tidak tahu pasti!). Karena itu mereka mau membuat edisi kritis, merestorasi teksnya, dan hendak membuat naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada.

Kedua, meskipun pada prinsipnya Al-Qur`an diterima dan diajarkan melalui hafalan, namun juga dicatat melalui berbagai medium tulisan. Sampai Rasulullah wafat, hampir seluruh catatan awal tersebut milik pribadi para sahabat sehingga kualitas dan kuantitasnya berbeda satu sama lain. Ini karena para sahabat menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar (tafsir glosses) di pinggir atau di sela-sela ayat untuk keperluan masing-masing.

Baru setelah menyusutnya jumlah penghafal Al-Qur`an karena gugur di medan perang, usaha kodifikasi (jam') pun dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk atas inisiatif Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq Radhiyallahu ’anhu hingga Al-Qur`an terkumpul dalam satu mushaf berdasarkan periwayatan langsung (first-hand) dan mutawatir dari Nabi.

Setelah wafatnya Abu Bakr (13H/634M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah 'Umar bin Khattab sampai wafat (23H/644M), lalu disimpan oleh Hafshah, sebelum kemudian diserahkan kepada Khalifah 'Utsman bin Affan.

Pada masa inilah, atas desakan sejumlah sahabat, sebuah tim ahli dibentuk dan diminta mendata kembali semua qira'at yang ada. Mereka juga ditugasi meneliti dan menentukan nilai keshahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan standardisasi demi mencegah kekeliruan dan perselisihan. Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standar yang masing-masing mengandung qira'ah-qira'ah mutawatir yang disepakati keshahihan periwayatannya dari Nabi. Jadi, sangat jelas fakta sejarah dan proses kodifikasinya.

Namun, para orientalis biasanya akan mulai dengan mempertanyakan fakta ini dan menolak hasilnya. Mereka menganggap sejarah kodifikasi tersebut hanya kisah fiktif dan mengatakan bahwa proses kodifikasi baru dilakukan pada abad ke-9 M. Di sini kelihatan bahwa para orientalis tidak mengerti atau sengaja tidak peduli bahwa Al-Qur`an tidak sama dengan Bibel. Al-Qur`an bukan lahir dari manuskrip, tapi sebaliknya, manuskrip lahir dari Al-Qur`an.

Ketiga, salah faham tentang rasm dan qira'ah-qira'ah. Sebagaimana diketahui, tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal Islam, Al-Qur`an ditulis gundul, tanpa tanda-baca sedikit pun. Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Namun rasm 'Utsmani sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum Muslimin saat itu belajar Al-Qur`an langsung dari para sahabat dengan cara menghafal, dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan.

Lucunya, orientalis semacam Arthur Jeffery dan Gerd R Joseph Puin menyimpulkan sendiri bahwa teks gundul inilah sumber variant readings (ragam pembacaan)--sebagaimana terjadi dalam kasus Bibel--serta keliru menyamakan qira'ah dengan readings. Mereka tidak tahu bahwa kaidah yang berlaku pada Al-Qur`an adalah tulisan mengacu pada bacaan yang diriwayatkan dari Nabi (rasmu taab'iun li riwaayah), bukan sebaliknya.

Para orientalis itu juga salah faham mengenai rasm Al-Qur`an. Dalam bayangan mereka, munculnya bermacam-macam qira'ah disebabkan oleh rasm yang sangat sederhana itu, sehingga setiap pembaca bisa saja berimprovisasi dan membaca sesuka hatinya. Padahal ragam qira'ah telah ada lebih dahulu sebelum adanya rasm.

Mereka juga tidak mengerti bahwa rasm Al-Qur`an telah disepakati dan didesain sedemikian rupa sehingga dapat mewakili dan menampung pelbagai qira'ah yang diterima. Misalnya, dengan menyembunyikan (hadzf) ”alif” pada kata ”m-l-k” (Al-Fatihah: 4) demi mengakomodasi qira'ah 'Ashim, al-Kisa'i, Ya'qub, dan Khalaf—yang menggunakan "maaliki"atau panjang--sekaligus qira'ah Abu 'Amr, Ibnu Katsir, Nafi', Abu Ja'far, dan Ibnu 'Amir--"maliki" atau pendek.

Mungkin ada yang bertanya: Apakah semua qira'ah telah tertampung oleh rasm Utsmani? Adakah qira'ah mutawatir yang tidak terwakili oleh rasm Utsmani? Atau, apakah naskah-naskah yang dikirim oleh Khalifah 'Utsman ke berbagai kota (Makkah, Basrah, Kufah, Damaskus) seragam rasm-nya dan sama dengan yang ada di Madinah atau berbeda-beda, yakni sesuai dengan harf atau qira'ah yang dominan di kota tersebut?

Yang masuk katagori ketiga cukup banyak. Menurut Prof Dr Sya'ban Muhammad Ismail dari Universitas Al-Azhar, Kairo (Mesir), jumlah qira`ah yang ditulis dengan rasm berbeda-beda dalam mashahi 'Utsman, tanpa pengulangan, mencapai 58 kata.

Dari sini jelas, mushaf-mushaf yang dikirim oleh Khalifah 'Utsman ke berbagai kota itu beragam rasm-nya, sesuai dengan bacaan sahabat yang diutus untuk mengajarkannya. Namun demikian tetap saja bacaan tidak bergantung pada teks. Dan memang, qira'ah sahabat (yang dikirim ke sebuah kota) atau perawinya tidak otomatis sama dengan mushaf yang beredar di kota itu, tetapi pada umumnya sama.

Boleh saja seorang imam atau perawi membacanya sesuai dengan riwayat dan rasm yang ada di mushaf kota lain. Contohnya, Imam Hafsh di Kufah membaca Surat Az-Zukhruf: 71 dengan bacaan ”tasytahiihi al-anfus” (dengan dua ha), seperti tertera dalam mushaf Madinah dan Syam. Padahal dalam mushaf Kufah tertulis ”tasytahi” (dengan satu ha). Ini dibolehkan mengingat salah satu syarat diterimanya sebuah qira'ah adalah sesuai dengan salah satu rasm mushaf 'Utsmani.

Sebaliknya, jika suatu qira'ah tidak tercatat dalam salah satu mushaf Utsmani, qira'ah tersebut dianggap syadz' (janggal) dan tidak dapat diterima. Itu karena bertentangan dengan rasm yang disepakati atau rasm yang telah menampung dan mewakili semua qira'ah mutawatir.

Jika demikian halnya, maka improvisasi liar atau bacaan liberal seperti yang direka-reka oleh para orientalis sudah pasti ditolak.*

Sumber: http://www.facebook.com/?page=1&sk=messages&tid=1339674376841

No comments:

Post a Comment