Assalamu'alaikum.

Assalamu'alaikum
Selamat datang di blog ini. Terimaksih atas kunjungannya sahabat

Semoga dapat bermanfaat untuk membuat kita lebih baik lagi, amin....
(bagi yang ingin copy and share artikel yang ada dblog ini, silahkan saja, asal cantumkan sumbernya... :)

Thursday 24 June 2010

Pernikahan

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata "nikah" sebagai
(1) perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami
istri (dengan resmi); (2) perkawinan. Al-Quran menggunakan
kata ini untuk makna tersebut, di samping secara majazi
diartikannya dengan "hubungan seks". Kata ini dalam berbagai
bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali. Secara bahasa pada
mulanya kata nikah digunakan dalam arti "berhimpun".

Al-Quran juga menggunakan kata zawwaja dan kata zauwj yang
berarti "pasangan" untuk makna di atas. Ini karena pernikahan
menjadikan seseorang memiliki pasangan. Kata tersebut dalam
berbagai bentuk dan maknanya terulang tidak kurang dari 80
kali.

Secara umum Al-Quran hanya menggunakan dua kata ini untuk
menggambarkan terjalinnya hubungan suami istri secara sah.
Memang ada juga kata wahabat (yang berarti "memberi")
digunakan oleh Al-Quran untuk melukiskan kedatangan seorang
wanita kepada Nabi Saw., dan menyerahkan dirinya untuk
dijadikan istri. Tetapi agaknya kata ini hanya berlaku bagi
Nabi Saw. (QS Al-Ahzab [33]: 50).

Kata-kata ini, mempunyai implikasi hukum dalam kaitannya
dengan ijab kabul (serah terima) pernikahan, sebagaimana akan
dijelaskan kemudian.

Pernikahan, atau tepatnya "keberpasangan" merupakan ketetapan
Ilahi atas segala makhluk. Berulang-ulang hakikat ini
ditegaskan oleh Al-Quran antara lain dengan firman-Nya:

Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar
kamu menyadari (kebesaran Allah) (QS Al-Dzariyat [51]:
49).

Mahasuci Allah yang telah menciptakan semua pasangan,
baik dari apa yang tumbuh di bumi, dan dan jenis mereka
(manusia) maupun dari (makhluk-makhluk) yang tidak
mereka ketahui (QS Ya Sin [36]: 36).

BERPASANGAN ADALAH FITRAH

Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan
dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu,
agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara pria dan
wanita, dan kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga
terlaksananya "perkawinan", dan beralihlah kerisauan pria dan
wanita menjadi ketenteraman atau sakinah dalam istilah
Al-Quran surat Ar-Rum (30): 21. Sakinah terambil dari akar
kata sakana yang berarti diam/tenangnya sesuatu setelah
bergejolak. Itulah sebabnya mengapa pisau dinamai sikkin
karena ia adalah alat yang menjadikan binatang yang disembelih
tenang, tidak bergerak, setelah tadinya ia meronta. Sakinah
--karena perkawinan-- adalah ketenangan yang dinamis dan
aktif, tidak seperti kematian binatang.

Guna tujuan tersebut Al-Quran antara lain menekankan perlunya
kesiapan fisik, mental, dan ekonomi bagi yang ingin menikah.
Walaupun para wali diminta untuk tidak menjadikan kelemahan di
bidang ekonomi sebagai alasan menolak peminang: "Kalau mereka
(calon-calon menantu) miskin, maka Allah akan menjadikan
mereka kaya (berkecukupan) berkat anugerah-Nya" (QS An-Nur
[24]: 31). Yang tidak memiliki kemampuan ekonomi dianjurkan
untuk menahan diri dan memelihara kesuciannya "Hendaklah
mereka yang belum mampu (kawin) menahan diri, hingga Allah
menganugerahkan mereka kemampuan" (QS An-Nur [24]: 33)

Di sisi lain perlu juga dicatat, bahwa walaupun Al-Quran
menegaskan bahwa berpasangan atau kawin merupakan ketetapan
Ilahi bagi makhluk-Nya, dan walaupun Rasul menegaskan bahwa
"nikah adalah sunnahnya", tetapi dalam saat yang sama Al-Quran
dan Sunnah menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus
diindahkan --lebih-lebih karena masyarakat yang ditemuinya
melakukan praktek-praktek yang amat berbahaya serta melanggar
nilai-nilai kemanusiaan, seperti misalnya mewarisi secara
paksa istri mendiang ayah (ibu tiri) (QS Al-Nisa' [4]: 19).
Bahkan menurut Al-Qurthubi ketika larangan di atas turun,
masih ada yang mengawini mereka atas dasar suka sama suka
sampai dengan turunnya surat Al-Nisa' [4]: 22 yang secara
tegas menyatakan.

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah
dinikahi oleh ayahmu tetapi apa yang telah lalu
(dimaafkan oleh Allah).

Imam Bukhari meriwayatkan melalui istri Nabi, Aisyah, bahwa
pada masa Jahiliah, dikenal empat macam pernikahan. Pertama,
pernikahan sebagaimana berlaku kini, dimulai dengan pinangan
kepada orang tua atau wali, membayar mahar dan menikah. Kedua,
adalah seorang suami yang memerintahkan kepada istrinya
apabila telah suci dari haid untuk menikah (berhubungan seks)
dengan seseorang, dan bila ia telah hamil, maka ia kembali
untuk digauli suaminya; ini dilakukan guna mendapat keturunan
yang baik. Ketiga, sekelompok lelaki kurang dari sepuluh
orang, kesemuanya menggauli seorang wanita, dan bila ia hamil
kemudian melahirkan, ia memanggil seluruh anggota kelompok
tersebut --tidak dapat absen-- kemudian ia menunjuk salah
seorang pun yang seorang yang dikehendakinya untuk dinisbahkan
kepadanya nama anak itu, dan yang bersangkutan tidak boleh
mengelak. Keempat, hubungan seks yang dilakukan oleh wanita
tunasusila, yang memasang bendera atau tanda di pintu-pintu
kediaman mereka dan "bercampur" dengan siapa pun yang suka
kepadanya. Kemudian Islam datang melarang cara perkawinan
tersebut kecuali cara yang pertama.

SIAPA YANG TIDAK BOLEH DINIKAHI?

Al-Quran tidak menentukan secara rinci tentang siapa yang
dikawini, tetapi hal tersebut diserahkan kepada selera
masing-masing:

Maka kawinilah siapa yang kamu senangi dari
wanita-wanita (QS An-Nisa [4]: 3)

Meskipun demikian, Nabi Muhammad Saw. menyatakan,

Biasanya wanita dinikahi karena hartanya, atau
keturunannya, atau kecantikannya, atau karena agamanya.
Jatuhkan pilihanmu atas yang beragama, (karena kalau
tidak) engkau akan sengsara (Diriwayatkan melalui Abu
Hurairah).

Di tempat lain, Al-Quran memberikan petunjuk, bahwa

Laki-laki yang berzina tidak (pantas) mengawini
melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang
musyrik; dan perempuan yang berzina tidak pantas
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau
1aki-laki musyrik (QS Al-Nur [24): 3).

Walhasil, seperti pesan surat Al-Nur (24): 26,

Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang
keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita
yang keji. Dan Wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah
untuk wanita-wanita yang baik (pu1a).

Al-Quran merinci siapa saja yang tidak boleh dikawini seorang
laki-laki.

Diharamkan kepada kamu mengawini ibu-ibu kamu,
anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan,
saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan, ibu-ibumu yang menyusukan kamu, saudara
perempuan sepesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua),
anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur
dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka
tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan juga
bagi kamu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Dan diharamkan juga mengawini wanita-wanita
yang bersuami (QS Al-Nisa' [4]: 23-24).

Kalaulah larangan mengawini istri orang lain merupakan sesuatu
yang dapat dimengerti, maka mengapa selain itu --yang disebut
di atas-- juga diharamkan? Di sini berbagai jawaban dapat
dikemukakan.

Ada yang menegaskan bahwa perkawinan antara keluarga dekat,
dapat melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan rohani, ada
juga yang meninjau dari segi keharusan menjaga hubungan
kekerabatan agar tidak menimbulkan perselisihan atau
perceraian sebagaimana yang dapat terjadi antar suami istri.
Ada lagi yang memandang bahwa sebagian yang disebut di atas,
berkedudukan semacam anak, saudara, dan ibu kandung, yang
kesemuanya harus dilindungi dari rasa berahi. Ada lagi yang
memahami larangan perkawõnan antara kerabat sebagai upaya
Al-Quran memperluas hubungan antarkeluarga lain dalam rangka
mengukuhkan satu masyarakat.

PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA YANG BERBEDA

Al-Quran juga secara tegas melarang perkawinan dengan orang
musyrik seperti Firman-Nya dalam surat Al-Baqarah (2):

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik
sebelum mereka beriman.

Larangan serupa juga ditujukan kepada para wali agar tidak
menikahkan perempuan-perempuan yang berada dalam perwaliannya
kepada laki-laki musyrik.

Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman
(QS A1-Baqarah [2]: 221).

Menurut sementara ulama walaupun ada ayat yang membolehkan
perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab (penganut
agama Yahudi dan Kristen), yakni surat Al-Maidah (51: 5 yang
menyatakan,

Dan (dihalalkan pula) bagi kamu (mengawini)
wanita-wanita terhormat di antara wanita-wanita yang
beriman, dan wanita-wanita yang terhormat di antara
orang-orang yang dianugerahi Kitab (suci) (QS
Al-Ma-idah [5]: 5).

Tetapi izin tersebut telah digugurkan oleh surat Al-Baqarah
ayat 221 di atas. Sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Umar, bahkan
mengatakan:

"Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dan
kemusyrikan seseorang yang menyatakan bahwa Tuhannya
adaLah Isa atau salah seorang dari hamba Allah."

Pendapat ini tidak didukung oleh mayoritas sahabat Nabi dan
ulama. Mereka tetap berpegang kepada teks ayat yang
membolehkan perkawinan semacam itu, dan menyatakan bahwa
walaupun aqidah Ketuhanan ajaran Yahudi dan Kristen tidak
sepenuhnya sama dengan aqidah Islam, tetapi Al-Quran tidak
menamai mereka yang menganut Kristen dan Yahudi sebagai
orang-orang musyrik. Firman Allah dalam surat A1-Bayyinah
(98): 1 dijadikan salah satu alasannya.

Orang kafir yang terdiri dari Ahl Al-Kitab dan
Al-Musyrikin (menyatakan bahwa) mereka tidak akan
meninggalkan agamanya sebelum datang kepada mereka
bukti yang nyata (QS. Al-Bayyinah [98]: 1).

Ayat ini menjadikan orang kafir terbagi dalam dua kelompok
berbeda, yaitu Ahl Al-Kitab dan Al-Musyrikin. Perbedaan ini
dipahami dari kata "wa" yang diterjemahkan "dan", yang oleh
pakar bahasa dinyatakan sebagai mengandung makna "menghimpun
dua hal yang berbeda."

Larangan mengawinkan perempuan Muslimah dengan pria non-Muslim
--termasuk pria Ahl Al-Kitab-- diisyaratkan oleh Al-Quran.
Isyarat ini dipahami dari redaksi surat Al-Baqarah (2): 221 di
atas, yang hanya berbicara tentang bolehnya perkawinan pria
Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, dan sedikit pun tidak
menyinggung sebaliknya. Sehingga, seandainya pernikahan
semacam itu dibolehkan, maka pasti ayat tersebut akan
menegaskannya.

Larangan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda itu
agaknya dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah
dalam keluarga. Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram
jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan
istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya,
atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan
istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan.
Memang ayat itu membolehkan perkawinan antara pria Muslim dan
perempuan Utul-Kitab (Ahl Al-Kitab), tetapi kebolehan itu
bukan saja sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika
itu, tetapi juga karena seorang Muslim mengakui bahwa Isa a.s.
adalah Nabi Allah pembawa ajaran agama. Sehingga, pria yang
biasanya lebih kuat dari wanita --jika beragama Islam-- dapat
mentoleransi dan mempersilakan Ahl Al-Kitab menganut dan
melaksanakan syariat agamanya,

Bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku (QS Al-Kafirun
[109]: 6).

Ini berbeda dengan Ahl Al-Kitab yang tidak mengakui Muhammad
Saw. sebagai nabi.

Di sisi lain harus pula dicatat bahwa para ulama yang
membolehkan perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, juga
berbeda pendapat tentang makna Ahl Al-Kitab dalam ayat ini,
serta keberlakuan hukum tersebut hingga kini. Walaupun penulis
cenderung berpendapat bahwa ayat tersebut tetap berlaku hingga
kini terhadap semua penganut ajaran Yahudi dan Kristen, namun
yang perlu diingat bahwa Ahl Al-Kitab yang boleh dikawini itu,
adalah yang diungkapkan dalam redaksi ayat tersebut sebagai
"wal muhshanat minal ladzina utul kitab". Kata al-muhshnnat di
sini berarti wanita-wanita terhormat yang selalu menjaga
kesuciannya, dan yang sangat menghormati dan mengagungkan
Kitab Suci. Makna terakhir ini dipahami dari penggunaan kata
utuw yang selalu digunakan Al-Quran untuk menjelaskan
pemberian yang agung lagi terhormat. [1] Itu sebabnya ayat
tersebut tidak menggunakan istilah Ahl Al-Kitab, sebagaimana
dalam ayat-ayat lain, ketika berbicara tentang penganut ajaran
Yahudi dan Kristen.

Pada akhirnya betapapun berbeda pendapat ulama tentang boleh
tidaknya perkawinan Muslim dengan wanita-wanita Ahl Al-Kitab,
namun seperti tulis Mahmud Syaltut dalam kumpulan fatwanya.
[2]

Pendapat para ulama yang membolehkan itu berdasarkan
kaidah syar'iyah yang normal, yaitu bahwa suami
memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri,
serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap
keluarga dan anak-anak. Adalah kewajiban seorang suami
Muslim --berdasarkan hak kepemimpinan yang
disandangnya-- untuk mendidik anak-anak dan keluarganya
dengan akhlak Islam. Laki-laki diperbolehkan mengawini
non-Muslimah yang Ahl Al-Kitab, agar perkawinan itu
membawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga
terkikis dari hati istrinya rasa tidak senangnya
terhadap Islam. Dan dengan perlakuan suaminya yang baik
yang berbeda agama dengannya itu, sang istri dapat
lebih mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam
secara amaliah praktis, sehingga ia mendapatkan dari
dampak perlakuan baik itu ketenangan, kebebasan
beragama, serta hak-haknya yang sempurna, lagi tidak
kurang sebaik istri.

Selanjutnya Mahmud Syaltut menegaskan bahwa kalau apa yang
dilukiskan di atas tidak terpenuhi --sebagaimana sering
terjadi pada masa kini-- maka ulama sepakat untuk tidak
membenarkan perkawinan itu, termasuk oleh mereka yang tadinya
membolehkan.
Kalau seorang wanita Muslim dilarang kawin dengan non-Muslim
karena kekhawatiran akan terpengaruh atau berada di bawah
kekuasaan yang berlainan agama dengannya, maka demikian pula
sebaliknya. Perkawinan seorang pria Muslim, dengan wanita Ahl
Al-Kitab harus pula tidak dibenarkan jika dikhawatirkan ia
atau anak-anaknya akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang
bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

POLIGAMI DAN MONOGAMI

Al-Quran surat Al-Nisa' [4]: 3 menyatakan,

Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
perempuan-perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya),
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak
dapat berlaku adil (dalam hal-hal yang bersifat
lahiriah jika mengawini lebih dari satu), maka
kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu
miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.

Atas dasar ayat inilah sehingga Nabi Saw. melarang menghimpun
dalam saat yang sama lebih dari empat orang istri bagi seorang
pria. Ketika turunnya ayat ini, beliau memerintahkan semua
yang memiliki lebih dari empat orang istri, agar segera
menceraikan istri-istrinya sehingga maksimal, setiap orang
hanya memperistrikan empat orang wanita. Imam Malik,
An-Nasa'i, dan Ad-Daraquthni meriwayatkan bahwa Nabi Saw.
bersabda kepada Sailan bin Umayyah, yang ketika itu memiliki
sepuluh orang istri.

Pilihlah dari mereka empat oranq (istri) dan ceraikan
selebihnya.

Di sisi 1ain ayat ini pula yang menjadi dasar bolehnya
poligami. Sayang ayat ini sering disalahpahami. Ayat ini turun
--sebagaimana diuraikan oleh istri Nabi Aisyah r.a.--
menyangkut sikap sementara orang yang ingin mengawini
anak-anak yatim yang kaya lagi cantik, dan berada dalam
pemeliharaannya, tetapi tidak ingin memberinya mas kawin yang
sesuai serta tidak memperlakukannya secara adil. Ayat ini
melarang hal tersebut dengan satu susunan kalimat yang sangat
tegas. Penyebutan "dua, tiga atau empat" pada hakikatnya
adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil kepada mereka.
Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seseorang yang melarang
orang 1ain memakan makanan tertentu, dan untuk menguatkan
larangan itu dikatakannya, "Jika Anda khawatir akan sakit bila
makan makanan ini, maka habiskan saja makanan selainnya yang
ada di hadapan Anda selama Anda tidak khawatir sakit". Tentu
saja perintah menghabiskan makanan yang lain hanya sekadar
untuk menekankan larangan memakan makanan tertentu itu.

Perlu juga digarisbawahi bahwa ayat ini, tidak membuat satu
peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan
dilaksanakan oleh syariat agama dan adat istiadat sebelum ini.
Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya,
dia hanya berbicara tentang bolehnya poligami, dan itu pun
merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilalui saat amat
diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan.

Jika demikian halnya, maka pembahasan tentang poligami dalam
syariat Al-Quran, hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal
atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut
pandang pengaturan hukum, dalam aneka kondisi yang mungkin
terjadi.

Adalah wajar bagi satu perundangan --apalagi agama yang
bersifat universal dan berlaku setiap waktu dan kondisi--
untuk mempersiapkan ketetapan hukum yang boleh jadi terjadi
pada satu ketika, walaupun kejadian itu hanya merupakan
"kemungkinan".

Bukankah kemungkinan mandulnya seorang istri, atau terjangkiti
penyakit parah, merupakan satu kemungkinan yang tidak aneh?
Apakah jalan keluar bagi seorang suami yang dapat diusulkan
untuk menghadapi kemungkinan ini? Bagaimana ia menyalurkan
kebutuhan biologis atau memperoleh dambaannya untuk memiliki
anak? Poligami ketika itu adalah jalan yang paling ideal.
Tetapi sekali lagi harus diingat bahwa ini bukan berarti
anjuran, apalagi kewajiban. Itu diserahkan kepada
masing-masing menurut pertimbangannya. Al-Quran hanya memberi
wadah bagi mereka yang menginginkannya. Masih banyak
kondisi-kondisi selain yang disebut ini, yang juga merupakan
alasan logis untuk tidak menutup pintu poligami dengan
syaratsyarat yang tidak ringan itu.

Perlu juga dijelaskan bahwa keadilan yang disyaratkan oleh
ayat yang membolehkan poligami itu, adalah keadilan dalam
bidang material. Surat Al-Nisa' [4]: 129 menegaskan juga
bahwa,

Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di
antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu
mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.

Keadilan yang dimaksud oleh ayat ini, adalah keadilan di
bidang imaterial (cinta). Itu sebabnya hati yang berpoligami
dilarang memperturutkan hatinya dan berkelebihan dalam
kecenderungan kepada yang dicintai. Dengan demikian tidaklah
tepat menjadikan ayat ini sebagai dalih untuk menutup pintu
poligami serapat-rapatnya.

SYARAT SAH PERNIKAHAN

Untuk sahnya pernikahan, para ulama telah merumuskan sekian
banyak rukun dan atau syarat, yang mereka pahami dari
ayat-ayat Al-Quran maupun hadis-hadis Nabi Saw.

Adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar
serta terlaksananya ijab dan kabul merupakan rukun atau syarat
yang rinciannya dapat berbeda antara seorang ulama/mazhab
dengan mazhab 1ain; bukan di sini tempatnya untuk diuraikan.

Calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat
pernikahan dengan pria lain, atau tidak dalam keadaan 'iddah
(masa menunggu) baik karena wafat suaminya, atau dicerai,
hamil, dan tentunya tidak pula termasuk mereka yang terlarang
dinikahi, sebagaimana disebutkan di atas.

Wali dari pihak calon suami tidak diperlukan, tetapi wali dari
pihak calon istri dinilai mutlak keberadaan dan izinnya oleh
banyak ulama berdasar sabda Nabi Saw.

Tidak sah nikah kecuali dengan (izin) wali.

Al-Quran mengisyaratkan hal ini dengan firman-Nya yang
ditujukan kepada para wali:

... Janganlah kamu (hai para wali) menghalangi mereka
(wanita yang telah bercerai) untuk kawin (lagi) dengan
baka1 suaminya, jika terdapat kerelaan di antara mereka
dengan cara yang makruf (QS Al-Baqarah [2]: 232).

Menurut sementara ulama seperti Imam Syafi'i dan Imam Maliki,
"Seandainya mereka tidak mempunyai hak kewalian, maka larangan
ayat di atas tidak ada artinya," dan karena itu pula terhadap
para wali ditujukan firman Allah.

Janganlah kamu menikahkan (mengawinkan) orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukminah) sebelum mereka
beriman (QS Al-Baqarah [2]: 221).

Sedang ketika Al-Quran berbicara kepada kaum pria nyatakannya,

Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin
lebih baik dari wanita musyrik walaupun ia menarik
hatimu (QS AlBaqarah [2]: 221).

Ada juga ulama lain semacam Abu Hanifah, Zufar, Az-zuhri dan
1ain-lain yang berpendapat bahwa apabila seorang wanita
menikah tanpa wali maka nikahnya sah, selama pasangan yang
dikawininya sekufu' (setara) dengannya. Mereka yang menganut
paham ini berpegang pada isyarat Al-Quran:

Apabila telah habis masa iddahnya (wanita-wanita yang
suaminya meninggal), maka tiada dosa bagi kamu (hai
para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut (QS Al-Baqarah [2): 234).

Ayat di atas, menurut penganut paham ini, mengisyaratkan hak
wanita bebas melakukan apa saja yang baik --bukan sekadar
berhias, bepergian, atau menerima pinangan-- sebagaimana
pendapat yang mengharuskan adanya wali, tetapi termasuk juga
menikahkan diri mereka tanpa wali. Di samping itu, kata
penganut paham ini, Al-Quran juga --dan bukan hanya sekali--
menisbahkan aktivitas menikah bagi para wanita, seperti
misalnya firman-Nya,

Sampai dia menikah dengan suami yang lain (QS
Al-Baqarah [2]: 230).

Perlu digarisbawahi bahwa ayat-ayat di atas yang dijadikan
alasan oleh mereka yang tidak mensyaratkan adanya wali,
berbicara tentang para janda, sehingga kalaupun pendapat
mereka dapat diterima maka ketiadaan wali itu terbatas kepada
para janda, bukan gadis-gadis. Pandangan ini dapat merupakan
jalan tengah antara kedua pendapat yang bertolak belakang di
atas.

Hemat penulis adalah amat bijaksana untuk tetap menghadirkan
wali, baik bagi gadis maupun janda. Hal tersebut merupakan
sesuatu yang amat penting karena "seandainya terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan", maka ada sandaran yang dapat dijadikan
rujukan. Ini sejalan dengan jiwa perintah Al-Quran yang
menyatakan, "Nikahilah mereka atas izin keluarga (tuan)
mereka." (QS Al-Nisa' [4]: 25). Walaupun ayat ini turun
berkaitan dengan budak-budak wanita yang boleh dikawini.

Hal kedua yang dituntut bagi terselenggaranya pernikahan yang
sah adalah saksi-saksi. Penulis tidak menemukan hal ini
disinggung secara tegas oleh Al-Quran, tetapi sekian banyak
hadis menyinggungnya. Kalangan ulama pun berbeda pendapat
menyangkut kedudukan hukum para saksi. Imam Abu Hanifah,
Syafi'i, dan Maliki mensyaratkan adanya saksi-saksi
pernikahan, hanya mereka berbeda pendapat apakah kesaksian
tersebut merupakan syarat kesempurnaan pernikahan yang
dituntut. Sebelum pasangan suami istri "bercampur"
(berhubungan seks) atau syarat sahnya pernikahan, yang
dituntut kehadiran mereka saat akad nikah dilaksanakan.

Betapapun perbedaan itu, namun para ulama sepakat melarang
pernikahan yang dirahasiakan, berdasarkan perintah Nabi untuk
menyebarluaskan berita pernikahan. Bagaimana kalau saksi-saksi
itu diminta untuk merahasiakan pernikahan itu? Imam Syafi'i
dan Abu Hanifah menilainya sah-sah saja, sedang Imam Malik
menilai bahwa syarat yang demikian membatalkan pernikahan
{fasakh). Perbedaan pendapat ini lahir dari analisis mereka
tentang fungsi para saksi, apakah fungsi mereka keagamaan,
atau semata-mata tujuannya untuk menutup kemungkinan adanya
perselisihan pendapat. Demikian penjelasan Ibnu Rusyd dalam
bukunya Bidayat Al-Mujtahid.

Dalam konteks ini terlihat betapa pentingnya pencatatan
pernikahan yang ditetapkan melalui undang-undang, namun di
sisi lain pernikahan yang tidak tercatat selama ada dua orang
saksi-tetap dinilai sah oleh agama. Bahkan seandainya kedua
saksi itu diminta untuk merahasiakan pernikahan yang
disaksikannya itu, maka pernikahan tetap dinilai sah dalam
pandangan pakar hukum Islam Syafi'i dan Abu Hanifah.

Namun demikian, menurut hemat penulis, dalam konteks
keindonesiaan, walaupun pernikahan demikian dinilai sah
menurut hukum agama, namun perkawinan di bawah tangan dapat
mengakibatkan dosa bagi pelaku-pelakunya, karena melanggar
ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR (Ulil Amri).
Al-Quran memerintahkan setiap Muslim untuk menaati Ulil Amri
selama tidak bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Dalam hal
pencatatan tersebut, ia bukan saja tidak bertentangan, tetapi
justru sangat sejalan dengan semangat Al-Quran.

Hal ketiga dalam konteks perkawinan adalah mahar.

Secara tegas Al-Quran memerintahkan kepada calon suami untuk
membayar mahar.

Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita-wanita (yang
kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan (QS
A1-Nisa' [4]: 4).

Suami berkewajiban menyerahkan mahar atau mas kawin kepada
calon istrinya.

Mas kawin adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk
memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya, dan selama
mas kawin itu bersifat lambang, maka sedikit pun jadilah.
Bahkan:

Sebaik-baik mas kawin adalah seringan-ringannya.

Begitu sabda Nabi Saw., walaupun Al-Quran tidak melarang untuk
memberi sebanyak mungkin mas kawin (QS Al-Nisa' [4]: 20). Ini
karena pernikahan bukan akad jual beli, dan mahar bukan harga
seorang wanita. Menurut Al-Quran, suami tidak boleh mengambil
kembali mas kawin itu, kecuali bila istri merelakannya.

"Apakah kalian (hai para suami) akan mengambilnya
kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan
menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan
mengambilnya kembali padahal sebagian kamu (suami atau
istri) te1ah melapangkan (rahasianya/bercampur) dengan
sebagian yang lain (istri atau suami) dan mereka (para
istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang amat
kokoh (QS Al-Nisa' [4]: 20-2l).

Agama menganjurkan agar mas kawin merupakan sesuatu yang
bersifat materi, karena itu bagi orang yang tidak memilikinya
dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan sampai ia memiliki
kemampuan. Tetapi kalau oleh satu dan lain hal, ia harus juga
kawin, maka cincin besi pun jadilah.

Carilah walau cincin dari besi.

Begitu sabda Nabi Saw. Kalau ini pun tidak dimilikinya sedang
perkawinan tidak dapat ditangguhkan lagi, baru mas kawinnya
boleh berupa mengajarkan beberapa ayat Al-puran. Rasulullah
pernah bersabda,

Telah saya kawinkan engkau padanya dengan apa yang
engkau miliki dari Al-Quran. (Diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim melalui Sahal bin Sa'ad).

Adapun ijab dan kabul pernikahan, maka ia pada hakikatnya
adalah ikrar dari calon istri, melalui walinya, dan dari calon
suami untuk hidup bersama seia sekata, guna mewujudkan
keluarga sakinah, dengan melaksanakan segala tuntunan dari
kewajiban. Ijab seakar dengan kata wajib, sehingga ijab dapat
berarti: atau paling tidak "mewujudkan suatu kewajiban" yakni
berusaha sekuat kemampuan untuk membangun satu rumah tangga
sakinah. Penyerahan disambut dengan qabul (penerimaan) dari
calon suami.

Untuk menguatkan ikrar, maka serah terima itu dalam pandangan
Imam Syafi'i tidak sah kecuali jika menggunakan apa yang
diistilahkan oleh Nabi Saw. dengan Kalimat Allah, yaitu dengan
sabdanya:

"Hubungan seks kalian menjadi halal atas dasar kalimat
Allah."

Kalimat Allah yang dimaksud adalah kedua lafaz (kata) nikah
dan zawaj (kawin) yang digunakan Al-Quran. Imam Malik
membolehkanjuga kata "memberi" sebagai terjemahan dari kata
wahabat sebagaimana disinggung pada pendahuluan. Ulama-ulama
ini tidak menilai sah lafaz ijab dan kabul yang mengandung
"kepemilikan", "penganugerahan", dan sebagainya, karena
kata-kata tersebut tidak digunakan Al-Quran sekaligus tidak
mencerminkan hakikat hubungan suami istri yang dikehendaki
oleh-Nya. Hubungan suami istri bukanlah hubungan kepemilikan
satu pihak atas pihak lain, bukan juga penyerahan diri
seseorang kepada suami, karena itu sungguh tepat pandangan
yang tidak menyetujui lafaz mahabat (penganugerahan) digunakan
dalam akad pernikahan. Hubungan tersebut adalah hubungan
kemitraan yang diisyaratkan oleh kata zauwj yang berarti
pasangan. Suami adalah pasangan istri, demikian pula
sebaliknya. Kata ini memberi kesan bahwa suami sendiri belum
lengkap, istri pun demikian. Persis seperti rel kereta api,
bila hanya satu re1 saja kereta tak dapat berjalan, atau
katakanlah bagaikan sepasang anting di telinga, bila hanya
sebelah maka ia tidak berfungsi sebagai perhiasan.

Mengawinkan pria dan wanita adalah menghimpunnya dalam satu
wadah perkawinan, sehingga wajar jika upaya tersebut
dilukiskan oleh Al-Quran dengan menggunakan kata "menikah"
yang pengertian kebahasaannya seperti dikemukakan pada
pendahuluan adalah "menghimpun".

Bahwa Al-Quran menggunakan kata wahabat khusus kepada Nabi
Saw. adalah merupakan satu hal yang wajar, karena siapa pun
dari umatnya wajar untuk melebur keinginannya demi kepentingan
Nabi Saw.

Demi Allah, kalian tidak beriman (secara sempurna)
sampai patuh keinginan hati kalian terhadap apa yang
kusampaikan.

Demikian sabda Nabi Saw. Dalam kesempatan yang lain Nabi
bersabda:

Salah seorang di antara kamu tidak beriman, sehingga
dia mencintai aku lebih dari cintanya terhadap orang
tuanya, anaknya dan seluruh manusia (Diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim melalui Anas bin Malik).

Makna ini sejalan dengan firman Allah,

Nabi (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang Mukmin dari pada
diri mereka sendiri (QS Al-Ahzab [33]: 6).

Itulah Kalimat Allah dalam hal sahnya perkawinan; kalimat itu
sendiri menurut Al-Quran:

Te1ah sempurna sebagai kalimat yang benar dan adil, dan
tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya (QS
Al-An'am [6]: 115).

"Dia penuh kebajikan" (QS Al-A'raf [7]: 137), lagi "Dan
kalimat Allah itulah yang Mahatinggi" (QS Al-Tawbah [9): 40).
Dengan kalimat itulah Allah menganugerahkan kepada Nabi
Zakaria yang telah berusia lanjut, lagi istrinya mandul,
"seorang anak bernama Yahya yang menjadi panutan, pandai
menjaga diri, serta menjadi Nabi" (QS Ali 'Imran [3]: 39).
Dengan kalimat itu Allah menciptakan Isa a.s. tanpa ayah, dan
diakuinya sebagai "seorang terkemuka di dunia dan di akherat,
serta termasuk orang-orang yang didekatkan kepada Allah" (QS
Ali 'Imran [3]: 45).

Serah terima perkawinan dilakukan dengan kalimat Allah yang
sifatnya demikian, agar calon suami dan istri menyadari betapa
suci peristiwa yang sedang mereka alami. Dan dalam saat yang
sama mereka berupaya untuk menjadikan kehidupan rumah tangga
mereka dinaungi oleh makna-makna kalimat itu: kebenaran,
keadilan, langgeng tidak berubah, luhur penuh kebajikan, dan
dikaruniai anak yang saleh, yang menjadi panutan, pandai
menahan diri, serta menjadi orang terkemuka di dunia dan di
akhirat lagi dekat kepada Allah.

TALI-TEMALI PEREKAT PERNIKAHAN

Cinta, mawaddah, rahmah dan amanah Allah, itulah tali temali
ruhani perekat perkawinan, sehingga kalau cinta pupus dan
mawaddah putus, masih ada rahmat, dan kalau pun ini tidak
tersisa, masih ada amanah, dan selama pasangan itu beragama,
amanahnya terpelihara, karena Al-Quran memerintahkan,

Pergaulilah istri-istrimu dengan baik dan apabila kamu
tidak lagi menyukai (mencintai) mereka (jangan putuskan
tali perkawinan), karena boleh jadi kamu tidak
menyenangi sesuatu tetapi Allah menjadikan padanya (di
balik itu) kebaikan yang banyak (QS Al-Nisa' [4]: l9).

Mawaddah, tersusun dari huruf-huruf m-w-d-d-, yang maknanya
berkisar pada kelapangan dan kekosongan. Mawaddah adalah
kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Dia
adalah cinta plus. Bukankah yang mencintai, sesekali hatinya
kesal sehingga cintanya pudar bahkan putus. Tetapi yang
bersemai dalam hati mawaddah, tidak lagi akan memutuskan
hubungan, seperti yang bisa terjadi pada orang yang bercinta.
Ini disebabkan karena hatinya begitu lapang dan kosong dari
keburukan sehingga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk
dihinggapi keburukan lahir dan batin (yang mungkin datang dari
pasangannya). Begitu lebih kurang komentar pakar Al-Quran
Ibrahim Al-Biqa'i (1480 M) ketika menafsirkan ayat yang
berbicara tentang mawaddah.

Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati
akibat menyaksikan ketidakberdayaan sehingga mendorong yang
bersangkutan untuk memberdayakannya. Karena itu dalam
kehidupan keluarga, masing-masing suami dan istri akan
bersungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi mendatangkan
kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu
dan mengeruhkannya.

Al-Quran menggarisbawahi hal ini dalam rangka jalinan
perkawinan karena betapapun hebatnya seseorang, ia pasti
memiliki kelemahan, dan betapapun lemahnya seseorang, pasti
ada juga unsur kekuatannya. Suami dan istri tidak luput dari
keadaan demikian, sehingga suami dan istri harus berusaha
untuk saling melengkapi.

Istri-istri kamu (para suami) adalah pakaian untuk
kamu, dan kamu adalah pakaian untuk mereka (QS
Al-Baqarah [2]: 187).

Ayat ini tidak hanya mengisyaratkan bahwa suami-istri saling
membutuhkan sebagaimana kebutuhan manusia pada pakaian, tetapi
juga berarti bahwa suami istri --orang masing-masing menurut
kodratnya memiliki kekurangan-- harus dapat berfungsi "menutup
kekurangan pasangannya". sebagaimana pakaian menutup aurat
(kekurangan) pemakainya.

Pernikahan adalah amanah, digarisbawahi oleh Rasul Saw. dalam
sabdanya,

Kalian menerima istri berdasar amanah Allah.

Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain
disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena
kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu, akan dipelihara
dengan baik, serta keberadaannya aman di tangan yang diberi
amanat itu.

Istri adalah amanah di pelukan suami, suami pun amanat di
pangkuan istri. Tidak mungkin orang tua dan keluarga
masing-masing akan merestui perkawinan tanpa adanya rasa
percaya dan aman itu. Suami --demikian juga istri-- tidak akan
menjalin hubungan tanpa merasa aman dan percaya kepada
pasangannya.

Kesediasn seorang istri untuk hidup bersama dengan seorang
lelaki, meninggalkan orang-tua dan keluarga yang
membesarkannya, dan "mengganti" semua itu dengan penuh
kerelaan untuk hidup bersama lelaki "asing" yang menjadi
suaminya, serta bersedia membuka rahasianya yang paling dalam.
Semua itu merupakan hal yang sungguh mustahil, kecuali jika ia
merasa yakin bahwa kebahagiannnya bersama suami akan lebih
besar dibanding dengan kebahagiaannya dengan ibu bapak, dan
pembelaan suami terhadapnya tidak lebih sedikit dari pembelaan
saudara-saudara sekandungnya. Keyakinan inilah yang dituangkan
istri kepada suaminya dan itulah yang dinamai Al-Quran
mitsaqan ghalizha (perjanjian yang amat kokoh) (QS Al-Nisa'
[4): 21).

SUAMI ADALAH PEMIMPIN KELUARGA

Keluarga, atau katakanlah unit terkecil dari keluarga adalah
suami dan istri, atau ayah, ibu, dan anak, yang bernaung di
bawah satu rumah tangga. Unit ini memerlukan pimpinan, dan
dalam pandangan Al-Quran yang wajar memimpin adalah bapak.

Kaum lelaki (suami) adalah pemimpin bagi kaum perempuan
(istri) (QS Al-Nisa' [4]: 34).

Ada dua alasan yang dikemukakan lanjutan ayat di atas
berkaitan dengan pemilihan ini, yaitu:

a. Karena Allah melebihkan sebagian mereka atas
sebagian yang lain, dan

b. Karena mereka (para suami diwajibkan) untuk
menafkahkan sebagian dari harta mereka (untuk
istri/keluarganya).

Alasan kedua agaknya cukup logis. Bukankah di balik setiap
kewajiban ada hak? Bukankah yang membayar memperoleh
fasilitas?

Adapun alasan pertama, maka ini berkaitan dengan faktor psikis
lelaki dan perempuan. Sementara psikolog berpendapat bahwa
perempuan berjalan di bawah bimbingan perasaan, sedang lelaki
di bawah pertimbangan akal. Walaupun kita sering mengamati
bahwa perempuan bukan saja menyamai lelaki da1am hal
kecerdasan, bahkan terkadang melebihinya. Keistimewaan utama
wanita adalah pada perasaannya yang sangat halus. Keistimewaan
ini amat diperlukan dalam memelihara anak. Sedang keistimewaan
utama lelaki adalah konsistensinya serta kecenderungannya
berpikir secara praktis. Keistimewaan ini menjadikan ia
diserahi tugas kepemimpinan rumah tangga.

Para istri mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang makruf akan tetapi para
suami mempunyai satu derajat kelebihan atas mereka
(para istri)". (QS A1-Baqarah [2]: 228).

Derajat itu adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya
untuk meringankan sebagian kewajiban istri. Karena itu, tulis
Syaikh Al-Mufasirin (Guru besar para penafsir) Imam
Ath-Thabari, "Walau ayat ini disusun dalam redaksi berita,
tetapi maksudnya adalah anjuran bagi para suami untuk
memperlakukan istrinya dengan sifat terpuji, agar mereka dapat
memperoleh derajat itu."

Imam Al-Ghazali menulis, "Ketahuilah bahwa yang dimaksud
dengan perlakuan baik terhadap istri, bukanlah tidak
mengganggunya, tetapi bersabar dalam kesalahannya, serta
memperlakukannya dengan kelembutan dan maaf, saat ia
menumpahkan emosi dan kemarahannya."

"Keberhasilan

-- *Dr. Quraish Shihab* --

No comments:

Post a Comment