Assalamu'alaikum.

Assalamu'alaikum
Selamat datang di blog ini. Terimaksih atas kunjungannya sahabat

Semoga dapat bermanfaat untuk membuat kita lebih baik lagi, amin....
(bagi yang ingin copy and share artikel yang ada dblog ini, silahkan saja, asal cantumkan sumbernya... :)

Tuesday 4 May 2010

ISTERI YANG DITINGGALKAN

Kemanakah kehangatan yang pernah engkau tawarkan dan berikan diawal perkenalan kita?
Kemanakah perginya rasa rindu yang pernah menyelimuti kita ?
Kemanakah menguapnya rasa kasih sayang dalam harmoni keluarga kita ?

Dan biduk rumah tangga ini mulai berlayar. Hari demi hari kita lalui bersama, dalam suka dan duka, dalam canda dan cengkerama. Kebahagiaan ini dilengkapi Allah dengan Fatima yang jadi amanah bagi kita berdua. Aku berharap, biduk ini takkan terguncang oleh badai yang menghadang, topan yang menghantam, hujan yang menerpa. Karena aku selalu berharap kita akan berlabuh dengan selamat di PINTU SURGA NYA.

Tak dapat ku pungkiri, bahwa waktu membuat kita berubah. Aku menjadi semakin gemuk, beruban dan terlihat tua. Engkaupun demikian . Namun aku pun berharap, waktu pula yang menjadikan kita semakin arif bijaksana.

Aku bukanlah sekedar penunggu rumah dan pengasuh anakmu, yang setiap awal bulan engkau ulurkan uang gajimu, tanpa pernah engkau bertanya . ' cukup atau kurangkah , sayangku ". Jujur, aku sedih dengan keadaan ini. Jujur , aku sedih ketika harus menjawab pertanyaan anaku,' ma, papa dimana sekarang? ". Jujur, aku sedih ketika tak tampak lagi kerinduanmu padaku - pada anak2 kita. Rumah hanyalah sekedar tempat berteduh beberapa jam menjelang subuh.

Jika sedang terjaga sendirian di tengah malam, menunggui Fatima yang sebentar-sebentar mengerang kesakitan diserang demam, aku ingin sekali mengguncang pundakmu dan berbisik agak keras tepat di hadapan wajahmu yang pulas: “Hey bangun, temani aku!”

Engkau akan menggeliat mendekat, ikut duduk di tepi ranjang hingga berderak, ikut mengawasi Fatima yang sekalipun tidur namun kelihatan tak nyenyak. Sesekali engkau meraba dahinya, merasai dingin telapak kakinya. Lalu bila perlu, engkau engambil handuk kecil atau sapu tangan tebal di lemari pakaian, mem-bawanya ke dapur untuk dibasahi dengan air yang tadi pagi telah kujerang, dan menaruhnya di kening Fatima perlahan-lahan berharap suhu panas tubuhnya berangsur normal.

Namun bila selang beberapa jenak kemudian erangnya justru terdengar kian kencang, engkau buru-buru menyuruhku ke dapur untuk memarut timun, membuatkan kompres yang konon lebih manjur. Sementara engkau sendiri bergegas ke luar menuju rumah Pak Karsiman, mantri kesehatan yang berjarak seratus meter dari rumah kita. Aku tak perlu tahu bagaimana ca-ramu membangunkannya di puncak malam yang begini buta. Yang jelas, kau pasti pulang dengan sebotol sirup penurun panas . . .

Begitulah seharusnya.

Ya, begitulah semestinya. Engkau selalu hadir di sini, di dekatku dan Fatima, di dekat istri dan anakmu. Selalu. Terutama di saat kami benar-benar membutuhkan hadirmu. Bukan. Bukan seperti sekarang, seperti malam ini. Aku sendirian yang mesti berjaga malam-malam dan mengurus semua: mengompres, me-marut timun, mengambilkan air minum jika Fatima menjerit kehausan, merapikan selimutnya yang terkadang melorot kena tendang, membisikkan apapun yang sekiranya membiat hatinya nyaman dan senang. Masih untung ada ayah di kamar sebelah yang se-lalu bersedia kumintai tolong membelikan sirup yang biasa Fatima gunakan walaupun untuk itu beliau harus bolak-balik ke rumah Pak Karsiman karena salah kemasan. Beruntung pula ada ibu yang tak pernah menolak jika kuminta menggantikan posisiku di samping Fatima saat aku tak kuasa mengendalikan kantuk yang bergelayut di bola mata.

Sementara engkau, di manakah engkau malam ini?
Adakah engkau tengah dalam perjalanan kemari: kembali ke rumah ini, rumah yang menurutmu dulu amat kau suka karena mungil dan di depannya ada pohon pepaya? Kalaupun tidak dalam perjalanan pulang, adakah engkau sedang teringat pada Fatima yang entah kenapa belakangan ini sering sakit-sakitan?
Ataukah engkau sedang asyik-masyuk bercinta dengan perempuanmu nan menggairahkan itu, yang telah membuatmu tak pulang-pulang sejak dua tahun silam, tanpa kabar tanpa nafkah tanpa status percerian? Benarkah engkau telah sungguh-sungguh melupakan setiap malam-malam kita: mulai malam pertama usai engkau menunjukkan diri sebagai lelaki perkasa, hingga malam-malam selanjutnya di mana engkau mulai suka mengecup mesra perutku yang membuncit mengandung Fatima?

Lupakah engkau pada janji setiamu di hadapan penghulu yang kau ikrarkan atas nama Tuhan? Lupakah engkau pada tanggungjawabmu sebagai ayah Fatima? Bukankah semestinya engkau turut wajib membesarkannya, tapi siapakah yang selama ini membelikannya susu, baju, sepatu? Bukan engkau. Ibuku. Siapakah yang rajin menggendongnya sejak kecil, mengajarinya ciluk-ba? Bukan engkau. Ibuku. Siapakah yang saban hari mengantarnya ke sekolah? Bukan engkau. Aku. Bahkan, siapa pula yang membayar biaya persalinanku yang berjuta-juta itu? Bukan engkau. Orangtuaku. Lupakah engkau, wahai Pria?
Lalau kenapa engkau sampai hati meninggalkanku sendiri-an di puncak cintaku yang hampir militan, mencampakkanku mirip sepah tebu sehabis kau kulum kau emut dalam-dalam? Kalau masalahmu adalah kepuasan, tak cukupkah pengorban-anku selama ini: bukankah telah kubiarkan engkau jajan di luar ketika apa yang kuhidangkan tak seperti yang kau harapkan, telah kurelakan pula engkau pulang malam-malam dengan pakaian awut-awutan dan leher sarat bekas gigitan? Kenapa, seperti kata peribahasa, air susu yang kuberi malah kau balas dengan air tuba? Kenapa, setelah kuberi engkau hati, masih juga merogok empela? Tak cukupkah rasa sakit yang kauberi, belum puaskah hatimu . . .

Hati? Ah, terkadang aku mulai sangsi: benarkah hatimu masih bisa menangkap rasa seperti hatiku yang sanggup mere-fleksikan rindu, dendam, bangga, bahagia, sedih, takut, berani, benci, dan cinta? Aku jadi ingin tahu: terbuat dari apakah sebenarnya hatimu? Betulkah ia serupa segumpal daging berbentuk irip daun waru seperti yang digambarkan anak SMU di surat cintanya yang penuh kata “I love you”, seperti dilambangkan kelompok musik ”Dewa” sejak album “Bintang Lima”, dan tepatnya seperti dijelaskan ahli anatomi di buku-buku biologi?
Atau jangan-jangan, hatimu telah batu: mengingkari setiap rindu yang diam-diam melindap ke relung kalbumu, sekaligus menghapus semua ingin untuk bertemu dengan Fatima dan denganku, hanya karena perempuan itu.

========================================================
ALLAH YA ROBBI, kalau memang ini semua terjadi karena kesalahanku, AMPUNILAH AKU... Aku mohon ampun dengan sebenar2nya dan setulus2nya. Ampuni semua kesalahan, kekhilafan dan dosa2ku ya ALLAH.... baik yang terlahir maupun yang tersembunyi, yang aku sengaja ataupun tidak aku sengaja.... Astaghfirullahal adziim wa atubu 'ilaik.
Jagalah suami, jagalah anakku, jagalah rumah tanggaku... Jadikan kami keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, keluarga yang saling berkasih sayang semata hanya karena ENGKAU YA ROBBI.
Kembalilah suamiku.... Kembalilah menjadi imam bagi ku dan anak2.... Kembalilah menjadi kepala keluarga yang menyenangkan... Kembalilah menjadi orang yang kami rindukan...
Allah ... ... ... kabulkan dan perkenankanlah doa dan harapanku ini.
=====================================================

SUMBER: http://www.facebook.com/notes/renungan-n-kisah-inspiratif/isteri-yang-ditinggalkan/416113566041

No comments:

Post a Comment