Assalamu'alaikum.

Assalamu'alaikum
Selamat datang di blog ini. Terimaksih atas kunjungannya sahabat

Semoga dapat bermanfaat untuk membuat kita lebih baik lagi, amin....
(bagi yang ingin copy and share artikel yang ada dblog ini, silahkan saja, asal cantumkan sumbernya... :)

Wednesday 14 April 2010

MENJADI IBU

Seorang ibu muda bergegas masuk ke ruang kantornya pagi itu. Agenda pekerjaan mulai pagi hingga petang sudah harus dilaksanakan. Ibu muda itupun langsung duduk di meja kerjanya dan mulai membuka laptop.

Ibu muda itu adalah Julia. Lulusan S1 sebuah perguruan tinggi negri ternama di Jakarta. Karena nilai-nilainya saat kuliah bagus, maka tidak sulit untuknya mendapatkan pekerjaan. Ditambah lagi dengan relasinya sejak ia masih kuliah dulu, makin memuluskan langkahnya menuju jenjang karir yang ia inginkan.

Julia adalah ibu muda yang memiliki tiga orang anak. Yang pertama, Rio, saat ini kelas 5 SD, Lia, duduk dikelas 3 SD, dan yang terakhir Tami, TK B. Walaupun mempunyai tiga orang anak, tidak menghalanginya untuk bekerja di luar rumah, untuk mengejar mimpinya sebagai wanita karir.

Sebagai salah satu staf HRD yang saat ini tengah mendapat promosi untuk menjadi junior manager HRD, waktu Julia banyak dihabiskan di kantor. Mulai pukul 7.30, Julia sudah berada di kantor. Untuk menghindari kemacetan, Julia memilih berangkat dari rumah pukul 5.30, sebelum matahari menyapa, Julia sudah duduk manis di mobil jemputan menuju kantor. Pulang, jika tidak ada tambahan rapat atau tugas dari atasan, maka Julia akan tiba di rumah pukul 20.00 malam. Sempat Julia merasa menyesal dengan minimnya waktu pertemuan ia dan anak-anak dan suaminya, tapi dihiburnya hatinya dengan mengatakan

,”Ini aku lakukan untuk mereka juga, untuk anak-anakku, untuk masa depan mereka, selain itu aku juga ingin sekali menjadi wanita mandiri yang tidak bergantung 100% pada suami, dan juga, kasihan sekali dengan orangtuaku yang sudah mengeluarkan biaya besar untuk membiayai kuliahku, aku ingin membuat orangtuaku bangga, aku ingin anak-anakku bangga, aku ingin sejajar dengan suamiku,” ujar Julia dalam hati.

Dan Julia pun meneruskan mimpinya. Karir di kejar. Semua pelatihan yang diadakan oleh perusahaannya yang bertujuan untuk peningkatan karirnya ia ikuti.

Selain itu, untuk mempercepat karirnya, Julia juga meneruskan kuliah hingga jenjang S3. Waktunya banyak di habiskan di luar rumah, di kantor, di perjalanan, di kampus.

Jerih payah Julia ternyata membuahkan hasil yang luar biasa. Berkat kerja keras suami dan dirinya, mereka bisa membeli beberapa rumah untuk masa depan anak-anaknya kelak, bisa menambah jumlah kendaraan, dan mempersiapkan biaya pendidikan anak-anak mereka hingga keluar negeri.

Julia merasa puas, inilah yang dibayangkannya dahulu. Ia membayangkan, masa mudanya ia habiskan untuk bekerja keras, dan masa tuanya akan dihabiskan bersama anak dan suaminya, dengan materi yang berlimpah, hasil kerja keras mereka dulu.

Usia 50 tahun, Julia memutuskan pensiun. Ia ingin menikmati masa tuanya di rumah bersama anak-anaknya.

Namun, ternyata kenyataan berbanding terbalik dengan apa yang ia bayangkan. Anak-anaknya yang sudah dewasa ternyata sudah mempunyai kesibukan masing-masing.

Si sulung Rio, sudah bekerja, dan saat ini tengah pendekatan dengan seorang wanita. Tentu saja ia tidak akan menghabiskan waktu hanya di rumah saja.

Lia, anak keduanya, sedang kuliah sambil kerja, seperti yang dilakukan Julia dulu. Hingga, hari-harinya banyak dihabiskan di kantor, kampus dan perjalanan. Persis seperti Julia.

Tami, si bungsu, setamat SMA, di terima bekerja di sebuah maskapai penerbangan luar negeri, yang menyebabkan ia jarang sekali pulang ke Indonesia.

Saat Julia meminta anak-anaknya menemani dirinya di rumah, tak satupun anak-anaknya yang merespon, semua sibuk. Rio, anak pertamanya pernah berkata pada Julia

,”Dulu, saat kami membutuhkan ibu, ibu ada dimana? Saat aku tidak bisa mengerjakan PR, ibu sedang di kantor, saat aku mau tidur, ibu belum pulang, saat aku akan berangkat sekolah, ibu tidak pernah mengantarku, saat aku mengajak ibu bermain, ibu mengeluh cape, saat aku ingin bermain dengan ibu, ibu jawab tak ada waktu, saat aku masuk rumah sakit untuk opname, memang ibu menungguiku, namun, setelah aku keluar dari rumah sakit, ibu langsung bekerja lagi, padahal kondisiku saat itu belum pulih benar, alasan ibu, ibu tidak bisa ambil cuti lagi. Siapa yang menyuapi dek Tami saat susah makan, bukan ibu, tapi si mba, siapa yang menjemput dek Tami saat dek Tami sakit di sekolah, bukan ibu, tapi si mba, saat dek Tami minta di dongengi, ibu selalu mengeluh cape, kalaupun ibu lakukan, itu ibu lakukan dengan sisa-sisa tenaga ibu, Ibu ada dimana saat kami, anak-anak ibu membutuhkan ibu….????”
………………………………………………………………………………

Sahabat ibu sekalian,
cerita diatas diangkat dari kisah nyata seorang Prof Dr. NN, ini terjadi sekitar sembilan tahun yang lalu.

Sahabat,
jika kita amati anak-anak, mereka senang sekali kalau orang-orang yang mereka cintai selalu ada didekat mereka. Mereka akan kesepian ketika kita tinggalkan. Jangankan untuk kita tinggalkan secara fisik, kita berada disamping mereka saja tapi kita mengerjakan hal yang lain, anak-anak sudah merasa tidak senang, dan mulai mencari-mencari perhatian kita dengan berbagai cara, salah satunya yang sering dilakukan anakku adalah merebut mainan dari adeknya. Saat itupun saya membayangkan diri saya sebagaimana anak kecil, saya tidak bisa membayangkan jika saya diasuh oleh orang yang tidak saya kenal. Bagaimana perasaan anak-anak yang pengasuhan dan perawatan mereka ada ditangan baby sitter?

Sahabat, sering kali sebagian besar muslimah yang sudah menjadi ibu tapi tidak mengerti dan bahkan tidak melakukan perannya sebagai seorang “ibu”. Banyak sekali para ibu karena tidak menginginkan kehadiran anaknya didunia ini, anaknya dibuang kesungai. Banyak ibu yang karena enggan merasa capek dan menderita dalam melahirkan dan merawat anaknya, diserahkan perawatan dan pencurahan kasih sayang kepada pembantunya. Banyak para ibu yang karena takut menghambat karirnya dan merusak tubuhnya, tidak merasa perlu memberika ASI bagi anaknya. MasyaAllah….

Anak-anak itu adalah titipan Allah, dan kita harus mempertanggungjawabkannya nanti dihadapanNya.

Rasulullah SAW bersabda:
“kalian semua adalah pemimpin. Dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin dirumahtangganya dan dia bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang wanita (ibu) adalah pemimpin dirumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya” (Muttafaq Alaih)

Hadits tersebut mengatur peran ayah dan ibu dalam keluarga. Ayah sebagai pemimpin keluarga dan ibu juga memiliki peran yang penting dan strategis dalam pendidikan anak dirumah.

Mulianya peran “ibu”

Pada anak-anak usia dini, ibu memegang peran dan tanggung jawab yang terpenting. Pada usia dini, keterikatan anak dan ibu terjalin kuat. Bahkan secara khusus Al Qur’an menyebutkan adanya bakti kepada ibu, lebih dari ayah. Inilah pesan Islam yang terdalam mengenai keutamaan dan kemuliaan peran ibu pada anak-anak usia dini.

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. (Qs. Luqman [31]: 14)

Dari Abu Hurairah r.a, meriwayatkan bahwa seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata: "Ya, Rasulullah, siapakah dari keluargaku yang paling berhak saya perlakukan dengan baik?" Jawab beliau, "Ibumu”. Dia bertanya, “Setelah itu siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu”. Dia bertanya lagi, “Setelah itu siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu”. Dia bertanya lagi, “Setelah itu siapa?” Beliau menjawab,”Bapakmu”. (HR. Bukhari Muslim)

Jannah; Bagi sang “Ibu”

Bila seorang muslimah menyadari betapa tinggi dan mulia peran ibu, niscaya ia tidak akan menukarnya dengan aktivitas-aktivitas yang hukumnya mubah. Sekiranya ia harus bekerja untuk membantu mencukupi nafkah keluarganya, maka ia akan mencari cara pelaksanaan aktivitas tersebut tanpa mengurangi keoptimalan peran keibuannya. Ia akan menjadi orang yang ingin melalui tahap demi tahap pertumbuhan anaknya diusia dini, sejak merawat kandungan, melahirkan, menyusui, mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Islam memberikan balasan atas aktivitas-aktivitas tersebut setara dengan pahala pejuang fisabilillah digaris depan medan pertempuran. Sementara ganjaran syahid adalah syurga. Siapa yang tak inginkan hal ini?

Lalu, apakah seorang wanita yang telah menjadi seorang ibu, tidak boleh bekerja?

Sahabat, konsep bekerja yang selama ini ada di benak kita adalah bekerja hanya bisa dilakukan di luar rumah. Padahal, kenyataannya, banyak wanita yang bisa mendapatkan penghasilan yang mengalahkan orang yang bekerja di luar rumah. Sebut saja produsen kerudung Permata’s, beliau melakukan semuanya di rumah, karena fokus dan ketekunannya, maka saat ini beliau bisa mempunyai kurang lebih 500 karyawan yang berada di Bandung dan Jakarta.

Begitu juga dengan salah satu teman baik saya, dalam satu minggu omset usahanya bisa mencapai lima juta.

Sahabat, Islam tidak pernah melarang wanita untuk meraih pendidikan tinggi, pun tidak pernah melarang untuk mempunyai penghasilan sendiri, contohnya Khadijah ra, beliau adalah wanita kara raya yang mempunyai kerajaan bisnis, namun, yang harus kita pahami adalah apa yang diamanahkan Allah pada kita, yaitu anak-anak.

Sahabat, tidak ada yang hina dari posisi ibu rumah tangga, seperti sabda Rasulullah saw

“Wanita yang sedang hamil dan menyusui sampai habis masa menyusuinya seperti pejuang digaris depan fisabilillah. Dan jika ia meninggal diantara waktu tersebut, maka sesungguhnya baginya adalah mati syahid”. (HR. Thabrani)

Sungguh, motivasi meraih kemuliaan inilah yang mendorong para ibu untuk mencurahkan kesungguhannya menjalankan peranannya. Itulah sebabnya, tidak ada yang bisa menggantikan nilai strategis peran ibu dalam pendidikan anak usia dini. Ibu adalah pendidik anak yang pertama dan utama. Ibu adalah figur terdekat bagi anak. Kasih sayang sang ibu menjadi jaminan awal bagi tumbuh kembang anak secara baik dan aman. Para pakar berpendapat bahwa kedekatan fisik dan emosional merupakan aspek penting keberhasilan pendidikan.

Kita tentunya mendambakan lahirnya generasi-generasi unggulan berkualitas pemimpin. Sudah saatnya harapan ini ditanamkan pada anak sejak usia dini.

Ibulah harapan utama dalam mencetak generasi dambaan ini.

Jika sebagian ibu masih mengesampingkan peranan “ibu” ini, bahkan melalaikan dengan berbagai alasan yang tidak dibenarkan dalam Islam, maka masihkah layak dikatakan syurga ditelapak kakinya?


Wallahua’lam bisshowab.

Sumber: http://www.facebook.com/photo.php?pid=294982&id=100000142608027

No comments:

Post a Comment