Assalamu'alaikum.

Assalamu'alaikum
Selamat datang di blog ini. Terimaksih atas kunjungannya sahabat

Semoga dapat bermanfaat untuk membuat kita lebih baik lagi, amin....
(bagi yang ingin copy and share artikel yang ada dblog ini, silahkan saja, asal cantumkan sumbernya... :)

Friday 30 April 2010

Bagaimana Sebaiknya Menyikapi Cobaan

“Barang siapa ditimpa suatu bencana/musibah di dalam hartanya atau badannya, maka dia menyembunyikannya dan tidak berkeluh kesah kepada orang lain, maka Allah akan mengampuninya” (Dalam kitab Jami as-Shaghir)

Diantara para rasul yang diutus Allah swt., yang terkenal kesabaran-nya adalah Nabi Ayyub as. Kesabaran beliau memang tak tertandingi oleh siapa pun. Beliau mendapatkan ujian hebat dengan seluruh badan digerogoti ulat-ulat. Sekujur badan terasa perih, menahan sakit yang tak sembuh-sembuh. Tapi beliau tidak mengeluh sedikit pun atas cobaan yang diberikan padanya. Kesabarannya sungguh luar biasa.

Bahkan saking sabarnya, setiap ulat yang lepas dari badannya akan ia ambil kembali agar tetap hidup dan nyaman di badannya. Meski di cerca dan diusir masyarakat dari kampungnya, beliau tetap tabah menghadapi semuanya. Beliau tetap sabar dan yakin semua ini hanyalah ujian dari Allah, Tuhan semesta alam.

Lalu tengoklah kelalaian yang diperlihatkan Tsa’labah pada zaman Rasulullah saw. Orang yang semula miskin tapi rajin beribadah di masjid, setelah dianugerahi rizki yang melimpah atas doa Rasulullah, ia seakan lupa segalanya. Ia sibuk dengan urusan hartanya sehingga kepentingan akheratnya terbengkalai. Perlahan ia mulai meninggalkan jamaah shalat dan akhirnya tak terlihat lagi di masjid. Lebih parah lagi, ia sangat kikir untuk mengeluarkan zakatnya.

Dari dua contoh di atas, ada satu titik yang mempersamakan keduanya, yakni bahwa manusia tidak lepas dari ujian dalam menjalani kehidupan. Ujian sendiri biasanya memiliki dua bentuk, yaitu ujian terhadap hal-hal yang menyusahkan (penderitaan) dan ujian terhadap hal-hal yang menyenangkan (kenikmatan).

Ujian yang diterima Nabi Ayyub adalah ujian yang menyusahkan, akan tetapi ujian itu ternyata semakin mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta. Nabi Ayyub diselimuti oleh penderitaan yang berkepanjangan, namun tetap sabar dan mengingat keagungan Allah.

Sebaliknya, ujian Tsa’labah adalah ujian kenikmatan, berupa karunia harta yang berkecukupan. Akan tetapi, ujian seperti itu justru bisa menjerumuskan Tsa’labah dalam jurang kesombongan. Kenapa dalam kondisi miskin ia begitu dekat pada Tuhannya, namun setelah kaya malah jauh dari Tuhannya?

Begitulah manusia, jika diberikan suatu anugerah, cenderung melupakan siapa Sang Pemberi. Ia tidak bisa mengambil hikmah dibaliknya, bahwa materi yang ada di dunia ini tidak abadi. Ia tidak berpikir, semua itu, hanyalah ujian bagi manusia. Ibarat batu loncatan untuk menuju kehidupan kekal. Artinya, jika manusia bisa bertumpu dan menjejakkan kakinya dengan benar, ia akan sampai tujuan. Sebaliknya, jika salah memijak, ia akan terperosok.

Menurut sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari, semakin tinggi tingkat derajat keimanan seseorang di dunia, semakin tinggi pula ujian yang ditimpakan padanya. Demikian pula sebaliknya. Berpijak dari riwayat tersebut, maka kehidupan di dunia ini adalah tempat ujian utuk mengetahui derajat dan tempat apa yang akan ditempati manusia di akherat kelak. Setelah melewati masa ujian, maka pada saat itulah manusia akan dimuliakan atau dihinakan. Maka tak mudah bagi manusia untuk mencapai derajat keimanan, setiap orang yang mengaku dirinya adalah seorang yang beriman, ia akan diuji terlebih dahulu apakah pengakuan yang telah diucapkan dengan lidahnya itu benar atau tidak.

Ujian bentuknya bermacam-macam, bisa berupa musibah atau nikmat, kelapangan atau kesempitan, kesehatan atau pun penyakit. Tinggal bagaimana manusia menyikapi ujian yang menimpanya. Sayangnya, kebanyakan manusia tidak sabar atas ujian yang diberikan Tuhan. Baru sebentar saja manusia diberikan kekayaan yang cukup, manusia sudah lupa dan menyombongkan diri. Baru saja diuji dengan sedikit penderitaan, manusia sudah mengeluh serta mencaci-maki dirinya sendiri dan Tuhannya.

Dalam kitab “Musnad ibn Hanbal” ditegaskan bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Tidaklah seseorang yang tertimpa musibah lalu membaca kalimat, ‘Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali. Ya Allah, berilah pahala kepadaku dalam musibah ini, dengan sesuatu yang baik bagiku’, melainkan Allah akan memberikan balasan yang lebih baik” .

Apa yang bisa ditangkap dari sabda rasul itu? Menurut Mahfudz Anshori, banyak makna yang begitu dalam kita temukan. Pertama, pada hakekatnya jiwa dan raga seorang hamba adalah milik Allah yang diberikan kepadanya sebagai pinjaman, dimana suatu saat akan diambil kembali. Dan perlu dingat bahwa sifat manusia asalnya tiada (non extence), dan akan kembali tiada. Jadi pinjaman yang diberikan kepadanya itu hanyalah untuk waktu yang pendek saja.

Kedua, apa saja yang menimpa manusia merupakan ketentuan Tuhan yang harus diterima dengan rela dan lapang dada. Ini selaras dengan ucapan Ali bin Abi Thalib bahwa sabar itu ada tiga : bersabar kepada taat, bersabar (meninggalkan) maksiat serta bersabar atas musibah.

Ketiga, berkeluh kesah hanya akan menambah beban penderitaan yang sedang dialami. Keempat, Tuhan Yang Maha Pengasih, yang memberikan ujian itu. Dia tidak akan menimpakan musibah kepada seorang hamba untuk mencelakakannya atau menyiksanya, namun ujian untuk mengetahui kesabaran, keridhaan dan keimanannya. Sebagaimana ucapan Syekh Abdul Qadir al-Jaelani : “Wahai anakku, sesungguhnya musibah itu datang bukan untuk mencelakakanmu, namun dia datang untuk menguji kesabaran dan keimananmu”.

Kelima, kepahitan di dunia pada hakekatnya adalah kemanisan di akherat. Sedang kemanisan di dunia pada hakekatnya adalah kepahitan di akherat. Rasulullah bersabda “Surga itu dilingkupi oleh hal-hal yang tidak disukai, sedangkan neraka dilingkupi oleh hal-hal yang disenangi”.

Kata Ibnu al-Mubarak, bencana itu satu, kalau orang yang terkena bencana itu bersusah hati, maka bencana itu menjadi dua, yaitu satu bencana itu sendiri yang kedua ialah hilangnya pahala bencana (bersabar terhadap bencana itu), yang kedua ini lebih besar dari bencana itu sendiri.

Seorang muslim sejati adalah orang yang ikhlas menghadapi ujian. Dia akan legawa menerima ujian apa pun yang datang dari Allah. jabatan, kehormatan dan kekayaan yang dissandangnya tidak membuatnya gumede (besar kepala), namun semakin menambah tawadhu’ dan taqarrub pada-Nya.

Demikian pula sebaliknya, kemiskinan dan penderitaan yang dia alami tidaklah dianggap sebagai kekuatan. Karena ia yakin Allah akan memberikan pahala yang setimpal, jika manusia bisa menerima ujian dengan lapang dada.

Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=386057171323&id=100000181634871

No comments:

Post a Comment