Assalamu'alaikum.

Assalamu'alaikum
Selamat datang di blog ini. Terimaksih atas kunjungannya sahabat

Semoga dapat bermanfaat untuk membuat kita lebih baik lagi, amin....
(bagi yang ingin copy and share artikel yang ada dblog ini, silahkan saja, asal cantumkan sumbernya... :)

Thursday 6 May 2010

Keikhlasan Dan Menghadhirkan Niat Dalam Segala Perbuatan, Ucapan Dan Keadaan Yang Nyata Dan Ya

Assalamu'alaikum wr.wb

Allah Ta'ala berfirman:
"Dan tidaklah mereka itu diperintahkan melainkan supaya sama menyembah Allah, dengan tulus ikhlas menjalankan agama untuk-Nya semata-mata, berdiri turus dan menegakkan shalat serta
menunaikan zakat dan yang sedemikian itulah agama yang benar." (al-Bayyinah: 5)

Allah Ta'ala berfirman pula:
"Samasekali tidak akan sampai kepada Allah daging-daging dan darah-darah binatang kurban itu, tetapi akan sampailah padaNya ketaqwaan dan engkau sekalian." (1) (al-Haj: 37)

Allah Ta'ala berfirman pula:
"Katakanlah - wahai Muhammad (2),sekalipun engkau semua sembunyikan apa-apa yang ada di dalam hatimu ataupun engkau sekalian tampakkan, pasti diketahui juga oleh Allah." (ali-lmran: 29)

catatan kecil:
(1) Orang-orang di zaman Jahiliyah dulu jika menginginkan atau mengharapkan keridhaan Tuhan, mereka
sembelihlah unta sebagai kurban, lalu darah unta itu disapukan pada dinding Baitullah atau Ka'bah. Kaum
Muslimin hendak meniru perbualan mereka itu, lalu turunlah ayat sebagaimana di atas.
(2) Semua uraian yang tertera antara -.... - adalah tambahan terjemahan dari kami sendiri untuk memudahkan
pengertiannya dan gampang memahamkannya. Harap Maklum

1. Dari Amirul mu'minin Abu Hafs yaitu Umar bin Al-khaththab bin Nufail bin Abdul'Uzza bin Riah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin 'Adi bin Ka'ab bin Luai bin Ghalib al-
Qurasyi al-'Adawi r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda (3):
"Hanyasanya semua amal perbuatan itu dengan disertai niat-niatnya dan hanyasanya bagi setiap orang itu apa yang telah menjadi niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya itu kepada Allah
dan RasulNya, maka hijrahnya itupun kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang hijrahnya itu untuk harta dunia yang hendak diperolehinya, ataupun untuk seorang wanita yang hendak
dikawininya, maka hijrahnyapun kepada sesuatu yang dimaksud dalam hijrahnya itu." (Muttafaq (disepakati) atas keshahihannya Hadis ini)

Diriwayatkan oleh dua orang imam ahli Hadis yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Almughirah bin Bardizbah Alju'fi Albukhari, - lazim disingkat dengan
Bukhari saja -dan Abulhusain Muslim bin Alhajjaj bin Muslim Alqusyairi Annaisaburi, -lazim disingkat dengan Muslim saja - radhiallahu 'anhuma dalam kedua kitab masingmasing
yang keduanya itu adalah seshahih-shahihnya kitab Hadis yang dikarangkan.

catatan kecil:
(3) Saidina Umar bin Khaththab r.a. itu adalah seorang khalifah dari golongan Rasyidin yang pertama kali menggunakan sebutan Amirul mu'minin pemimpin sekalian kaum mu'minin. Beliau adalah khalifah kedua
sepeninggal Rasulullah s.a.w. Panggilan Amirul mu'minin itu lalu dicontoh dan diteruskan oleh khalifah Usman dan Ali radhiallahu 'anhuma, juga oleh para khalifah Bani Umayyah, Bani Abbas dan selanjutnya. Jadi di zaman
khalifah Abu Bakar sebutan di atas belum digunakan. Adapun Abu Hafs itu adalah gelar kehormatan bagi Sayidina Umar r.a. Abu artinya bapak, sedang hafs artinya singa. Beliau r.a. memperoleh gelar Bapak Singa,
sebab memang terkenal berani dalam segala hal, seperti dalam menghadapi musuh di medan perang, dalam menegakkan keadilan di antara seluruh rakyatnya dan tanpa pandang bulu dalam meneterapkan hukuman
kepada siapapun. Ringkasnya yang salah pasti ditindak dengan keras, sedang yang teraniaya dibela dan dilindungi.
Hadis di atas adalah berhubungan erat dengan persoalan niat. Rasulullah s.a.w. menyabdakannya itu ialah kerana di antara para sahabat Nabi s.a.w. sewaktu mengikuti
untuk berhijrah dari Makkah ke Madinah, semata-mata sebab terpikat oleh seorang wanita yakni Ummu Qais. Beliau s.a.w. mengetahui maksud orang itu, lalu bersabda sebagaimana di
atas.

Oleh kerana orang itu memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan maksud yang terkandung dalam hatinya, meskipun sedemikian itu boleh saja, tetapi sebenarnya tidak
patut sekali sebab saat itu sedang dalam suasana yang amat genting dan rumit, maka ditegurlah secara terang-terangan oleh Rasulullah s.a.w.
Bayangkanlah, betapa anehnya orang yang berhijrah dengan tujuan memburu wanita yang ingin dikawin, sedang sahabat beliau s.a.w. yang lain-lain dengan tujuan
menghindarkan diri dari amarah kaum kafir dan musyrik yang masih tetap berkuasa di Makkah, hanya untuk kepentingan penyebaran agama dan keluhuran Kalimatullah.
Bukankah tingkah-laku manusia sedemikian itu tidak patut sama-sekali. Jadi oleh sebab niatnya sudah keliru, maka pahala hijrahnyapun kosong. Lain sekali
dengan sahabat-sahabat beliau s.a.w. yang dengan keikhlasan hati bersusah payah menempuh jarak yang demikian jauhnya untuk menyelamatkan keyakinan kalbunya,
pahalanyapun besar sekali kerana hijrahnya memang dimaksudkan untuk mengharapkan keridhaan Allah dan RasulNya. Sekalipun datangnya Hadis itu mula-mula tertuju pada
manusia yang salah niatnya ketika ia mengikuti hijrah, tetapi sifatnya adalah umum. Para imam mujtahidin berpendapat bahwa sesuatu amal itu dapat sah dan diterima serta dapat
dianggap sempurna apabila disertai niat. Niat itu ialah sengaja yang disembunyikan dalam hati, ialah seperti ketika mengambil air sembahyang atau wudhu', mandi shalat dan lain-lain
sebagainya.

Perlu pula kita maklumi bahwa barangsiapa berniat mengerjakan suatu amalan yang bersangkutan dengan ketaatan kepada Allah ia mendapatkan pahala. Demikian pula jikalau
seseorang itu berniat hendak melakukan sesuatu yang baik, tetapi tidak jadi dilakukan, maka dalam hal ini orang itupun tetap juga menerima pahala. Ini berdasarkan Hadis yang berbunyi:
"Niat seseorang itu lebih baik daripada amalannya." Maksudnya: Berniatkan sesuatu yang tidak jadi dilakukan sebab adanya halangan yang
tidak dapat dihindarkan itu adalah lebih baik daripada sesuatu kelakuan yang benar-benar dilaksanakan, tetapi tanpa disertai niat apa-apa.
Hanya saja dalam menetapkan wajibnya niat atau tidaknya,agar amalan itu menjadi sah, maka ada perselisihan pendapat para imam mujtahidin. Imam-imam Syafi'i,Maliki dan
Hanbali mewaibkan niat itu dalam segala amalan, baik yang berupa wasilah yakni perantaraan seperti wudhu', tayammum dan mandi wajib, atau dalam amalan yang berupa
maqshad (tujuan) seperti shalat, puasa, zakat, haji dan umrah. Tetapi imam Hanafi hanya mewajibkan adanya niat itu dalam amalan yang berupa maqshad atau tujuan saja sedang
dalam amalan yang berupa wasilah atau perantaraan tidak diwajibkan dan sudah dianggap sah. Adapun dalam amalan yang berdiri sendiri, maka semua imam mujtahidin sependapat tidak perlunya niat itu, misalnya dalam membaca al-Quran, menghilangkan najis
dan lain-lain. Selanjutnya dalam amalan yang hukumnya mubah atau jawaz (yakni yang boleh dilakukan dan boleh pula tidak), seperti makan-minum, maka jika disertai niat agar kuat
beribadat serta bertaqwa kepada Allah atau agar kuat bekerja untuk bekal dalam melakukan ibadat bagi dirinya sendiri dan keluarganya, tentulah amalan tersebut mendapat pahala,
sedangkan kalau tidak disertai niat apa-apa, misalnya hanya supaya kenyang saja, maka kosonglah pahalanya.


Wallahu'alam bisshawab

Sumber: http://www.facebook.com/home.php?#!/?page=4&sk=messages&tid=387035137040

No comments:

Post a Comment