Assalamu'alaikum.

Assalamu'alaikum
Selamat datang di blog ini. Terimaksih atas kunjungannya sahabat

Semoga dapat bermanfaat untuk membuat kita lebih baik lagi, amin....
(bagi yang ingin copy and share artikel yang ada dblog ini, silahkan saja, asal cantumkan sumbernya... :)

Wednesday 7 April 2010

Debat Abu Hanifah dengan ilmuwan kafir

Pada masa Abu Hanifah masih muda, ada seorang ilmuwan besar yang sangat terkenal. Sayangnya, ilmuwan berkebangsaan Romawi ini seorang ateis dan menolak mentah-mentah keberadaan Tuhan.

Pada suatu hari, orang-orang sudah berkumpul di sebuah masjid. Si ilmuwan naik ke mimbar dan menantang siapa saja yang mau berdebat dengannya. Ada maksud tersembunyi dibalik tantangannya itu.

Ya, sesungguhnya dia bermaksud menjatuhkan para ulama dengan argumen-argumennya yang rasional.

Si ilmuwan semakin congkak setelah tantangannya tak bersambut. Dia menyangka semua ulama itu pengecut sehingga tidak ada seorang pun yang berani menyambut tantangannya. Hal ini semakin diperkuat dengan suasana di dalam masjid yang tiba-tiba hening.

Beberapa orang saling pandang. Ada pula yang mengarahkan pandangan ke deretan paling depan tempat beberapa ulama duduk.

Dari sekian banyak hadirin, ada seorang pemuda yang merasa sebal melihat kecongkakan si ilmuwan kafir itu. Namun, dia berusaha menahan diri, barangkali ada seorang ulama senior yang berani tampil menghadapi tantangan itu.

Sang pemuda menunggu lama. Setelah yakin tak ada yang mau maju, barulah dia berdiri dan melangkah menuju mimbar.

.

“Saya Abu Hanifah, siap berdebat dengan Anda,” kata sang pemuda sambil memperkenalkan diri.

Semua mata hadirin tertuju ke arah Abu Hanifah. Mereka merasa heran melihat keberanian sang Pemuda. Beberapa orang mengatakan salut kepada Abu Hanifah. Si ilmuwan sendiri merasa heran melihat keberanian Abu Hanifah. Akan tetapi, kebanyakan hadirin bersikap sinis terhadap Abu Hanifah dan menyepelekan kemampuannya.

Wajah Abu Hanifah tetap tenang. Beliau tidak terpengaruh oleh berbagai bisikan yang ada, termasuk yang bernada miring sekalipun.

.

“Silakan Anda yang memulai,” ujar Abu Hanifah mempersilakan dengan sopan.

“Tahun berapa Tuhan kamu dilahirkan?” tanya ilmuwan kafir.

“Allah tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan,” jawab Abu Hanifah.

“Hmm, masuk akal jika dikatakan Allah tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan. Lalu, pada tahun berapa Dia ada?”

“Dia ada sebelum segala sesuatu ada,” tegas Abu Hanifah.

“Bisa berikan contoh konkret mengenai hal ini?”

“Anda tahu tentang perhitungan?” Abu Hanifah balik bertanya.

“Iya, saya tahu.”

“Angka berapa sebelum angka satu?”

“Tidak ada,” jawab ilmuwan kafir.

“Tidak ada angka lain yang mendahului angka satu. Lalu, mengapa Anda bingung bahwa sebelum Allah itu tidak ada sesuatu pun yang mendahului-Nya?”

.

“Baiklah. Sekarang, dimanakah Allah berada? Sesuatu yang berwujud pasti membutuhkan tempat, bukan?” lanjut si ilmuwan.

“Anda tahu bentuk susu?” tanya Abu Hanifah.

“Iya, saya tahu,” jawab si ilmuwan.

“Apakah di dalam susu itu terdapat keju?”

“Ya, tentu.”

“Kalau begitu, coba perlihatkan dimana tempat keju itu sekarang!”

“Jelas tidak ada tempat khusus. Keju itu bercampur dengan susu di seluruh bagiannya,” jawab si ilmuwan dengan semangat.

“Nah, keju saja tidak mempunyai tempat khusus di dalam susu. Tidak sepatutnya Anda meminta saya untuk menunjukkan tempat Allah berada.”

.

“Tolong jelaskan Dzat Allah. Apakah wujud Allah itu benda padat seperti batu, benda cair seperti susu, ataukah seperti gas?” tanya si ilmuwan kafir, tak patah arang.

“Anda pernah mendampingi orang sakit yang akan meninggal dunia?”

“Pernah.”

“Awalnya, orang sakit itu bisa berbicara dan bisa menggerakkan anggota badannya, bukan?”

“Ya, memang demikian halnya.”

“Tetapi, kenapa tiba-tiba orang sakit itu diam tidak bergerak? Apa yang menyebabkan hal itu?” pancing Abu Hanifah.

“Jelas itu karena ruh orang tersebut telah berpisah dari tubuhnya.”

“Sewaktu ruh itu keluar, apakah Anda masih berada disana?”

“Saya masih disana.”

“Coba jelaskan, apakah ruh orang tersebut benda padat, cair, atau gas?”

“Wah, kalau itu saya tidak tahu.”

“Anda sendiri tidak dapat menerangkan bentuk ruh. Apalagi saya jika harus menerangkan Dzat Allah yang menciptakan ruh itu. Pengetahuan saya tidak sampai ke sana.”

.

“Lazimnya, sesuatu itu mempunyai arah. Kemanakah Allah menghadapkan wajah-Nya sekarang?” tanyanya kafir lagi, belum menyerah.

“Apabila Anda menyalakan lampu, ke arah manakah cahaya lampu itu menghadap?”

“Cahayanya menghadap ke semua arah.”

“Ya, Anda benar. Lampu yang buatan manusia saja seperti itu. Apalagi dengan Allah Sang Pencipta alam semesta. Allah adalah cahaya langit dan bumi.”

.

“Ada awal dan ada akhir. Seseorang yang masuk surga itu ada awalnya, tetapi kenapa tidak ada akhirnya? Mengapa surga dan para penghuninya itu kekal abadi?”

“Untuk hal itu, Anda bisa membandingkannya dengan perhitungan angka. Angka itu ada awalnya, tetapi tidak ada akhirnya.”

.

“Bagaimana pula para penghuni surga itu makan dan minum tanpa buang hajat?”

“Ini pernah Anda alami sewaktu di dalam rahim ibu. Selama sembilan bulan Anda makan dan minum tanpa pernah buang hajat. Anda baru buang air besar dan buang air kecil beberapa saat setelah terlahir ke dunia ini.”

.

“Tolong jelaskan, bagaimana kenikmatan surga itu bisa terus bertambah tanpa ada habisnya?”

“Ada banyak hal yang semacam itu di dunia. Misalnya, ilmu. Ilmu tidak akan habis atau berkurang ketika dimanfaatkan, malah semakin bertambah.”

.

“Jika segala sesuatu sudah ditakdirkan sebelum diciptakan, lalu apa pekerjaan Allah sekarang?”

“Sejak tadi Anda menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dari atas mimbar, sedangkan saya hanya menjawab dari lantai masjid ini. Kali ini untuk menjawab pertanyaan Anda, saya mohon Anda turun dari mimbar. Saya akan menjawab pertanyaan Anda tadi di mimbar.”

Kemudian si ilmuwan turun dari mimbar, sementara itu Abu Hanifah naik ke mimbar.

“Saudara-saudara, dari atas mimbar ini saya akan menjawab pertanyaan tadi. Bisa Anda ulang pertanyaannya?” tutur Abu Hanifah setelah berada di atas mimbar masjid pada si ilmuwan kafir itu.

“Apa pekerjaan Allah sekarang?” ia menyebutkan inti pertanyaanya.

“Pekerjaan Allah tentu saja berbeda dari pekerjaan makhluk. Ada pekerjaan-Nya yang bisa dijelaskan, dan ada pula yang tidak bisa dijelaskan.

Pekerjaan Allah sekarang adalah menurunkan orang kafir seperti Anda dari atas mimbar, kemudian menaikkan seorang mukmin ke atasnya.

Begitulah gambaran pekerjaan Allah setiap waktu."



Akhirnya, hadirin yang ada di dalam masjid merasa puas dengan jawaban-jawaban Abu Hanifah. Jelas, lugas, tegas, dan mudah dipahami—bahkan oleh orang awam sekalipun.

#


Begitulah idealnya kita sebagai seorang muslim. Yuk, mari belajar lebih giat lagi supaya wajah Islam menjadi lebih cerah di masa yang akan datang. Amin.

Like Father Like Son
Muhammad Zaka Al Farisi
MQ Gress 2007

Catatan Rien Marini: http://www.facebook.com/notes/rien-marini/-debat-abu-hanifah-dengan-ilmuwan-kafir-/375961357606

No comments:

Post a Comment